Catatan: Gantyo Koespradono

“PERSETURUAN” antara Ahok dan Risma soal pembangunan trotoar dan taman – padahal hanya dipicu berita pelintiran wartawan – tiga hari terakhir memunculkan spekulasi Risma tampaknya bakal benar-benar ke Jakarta untuk “melawan” Ahok dalam Pilkada Serentak 2017.

Pasukan bersumbu pendek yang tidak senang dengan Ahok dan “ngarep banget” Risma sudi memenuhi “panggilan” PDIP ke Jakarta kontan bersorak-sorak gembira dan menjadikan isu trotoar dan taman sebagai momentum untuk menyerang dan membully Ahok.

Mereka menganggap berita yang dilansir banyak media serius – apalagi yang abal-abal – sebagai sebuah kebenaran  sangat mutlak dan bak keputusan juri lomba karaoke 17-an di tingkat kelurahan yang tidak bisa diganggu gugat. Risma pun ditempatkan sebagai kaum lemah yang pantas dibela mati-matian karena telah diperlakukan sewenang-wenang oleh orang kuat (Ahok) yang dianggap tidak tahu diri.

Mereka membayangkan Risma bakal jadi gubernur DKI, lalu membangun trotoar dan taman yang panjang dan luas sekali tak sekadar seluas  Jakarta Selatan. Mereka berangan-angan Ahok yang tidak lagi menjadi gubernur menangis meraung-raung sambil gigit jari (?) dan menyesal karena telah “menghina” dan “meremehkan” kerja Risma di Surabaya.

Jaklovers (Jakarta Love Risma) pun semakin bersemangat mendorong Risma maju ke Pilgub DKI. Mereka long march ke pelosok Jakarta sambil membentangkan spanduk bertuliskan: “Kami rindu Risma ke Jakarta.”

Komunitas orang-orang yang mengaku berasal usul dari Surabaya pun bermunculan, tak peduli mereka asli dari Gunung Kidul atau Sipirok. Mudah-mudahan tak lama lagi lahir forum atau komunitas “warga” Jl Surabaya yang biasa menggelar dagangan barang antik. Pokoknya Risma-lah.

Benarkah Risma siap ke Jakarta dan “nyalon” DKI-1? Kabar santer semakin mengerucut bahwa Risma benar-benar ogah ke Jakarta. Salah satu ketua umum partai pendukung Ahok, Surya Paloh jelas-jelas mengungkapkan keraguannya Risma akan ke Jakarta untuk melawan jagoannya. Karena itu Paloh tidak bisa mengukur kekuatan antara Ahok dan Risma.

Jika memang Risma keberatan “menggugurkan” kepemimpinannya di Surabaya yang baru berusia enam bulan, maka tak ada pilihan bagi PDIP untuk akur-akuran dengan Ahok. Pilihan kompromistis terbaik adalah mempertahankan pasangan Ahok dan Djarot Syaiful Hidayat.

Ya, PDIP akan meninggalkan Koalisi Kekeluargaan yang dibentuk secara sepihak oleh segelintir politikus PDIP yang bernafsu bermain politik di Surabaya dan Jawa Timur. “Segala macam kemungkinan dapat terjadi. Kita lihat saja nanti,” kata Djarot.

Maruarar Sirait, politikus PDIP malah berkeyakinan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri akan memilih Ahok menjadi calon gubernur DKI Jakarta. “Saya sangat yakin pada akhirnya Bu Mega akan memilih Ahok di Pilkada DKI Jakarta,” ujar Maruarar.

Maklumlah jika PDIP akhirnya mengusung Ahok-Djarot, sebab partai ini sepertinya sudah tidak tahan dengan suara minor yang diungkapkan banyak orang, terutama para netizen.

PDIP semakin tidak tahan dengan kemungkinan buruk yang bakal terjadi jika tidak mencalonkan Ahok, yaitu partai ini nantinya (2019) tidak saja akan jeblok di Jakarta, tapi juga di seluruh Indonesia. Kemungkinan seperti inilah yang jadi bahan pertimbangan utama mengapa akhirnya PDIP berpaling ke Ahok.

Lalu siapa pesaing Ahok-Djarot? Enam parpol tersisa yang ada di Koalisi Kekeluargaan secara kekeluargaan pasti akan berembuk mencari sosok yang pantas dan layak mengalahkan Ahok. Gerindra sudah punya Sandiaga Uno. Yusril Ihza Mahendra, calon independen, bisa berteduh di koalisi dadakan ini. PKS juga bisa mengusung ustad-ustadnya, eh siapa tahu bisa meramaikan opini “lawan pemimpin kafir”.

Jika benar PDIP memajukan Ahok-Djarot, nggak tahu bagaimana nasib kambing bedakan yang bakal diusung Masinton Pasaribu. Sepertinya Masinton akan memasarkan kambingnya ke tenda-tenda hewan kurban di pinggir jalan. Embeeekkk.[]