Universitas Esa Unggul

Kastara.ID, Jakarta – Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Mochtar Ngabalin, dalam masa pandemi, menyebut peserta aksi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai sampah demokrasi.

Ungkapan itu langsung mendapat sorotan dari Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga yang menyebut sangat tak pantas diucapkan oleh seorang Tenaga Ahli Utama KSP. Idealnya, lanjut Jamiludin, Mochtar Ngabalin merepresentasikan sosok presiden yang santun dalam bertutur kata, sabar, dan tidak meledak-ledak.

“Tipikal seperti itu bukan cerminan Presiden Jokowi. Karena itu, penempatan Mochtar Ngabalin sebagai tenaga ahli utama sungguh tidak tepat,” tandas Jamiluddin kepada Kastara.ID di Jakarta, Kamis (15/10).

Jamiluddin juga menyoroti kehadiran Mochtar Ngabalin di KSP justru menjadi beban, bukan problem solver bagi Presiden Jokowi. “Tipikal Presiden Jokowi bertolak belakang dengan tipikal Mochtar Ngabalin,” ungkap pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini.

Menurutnya, ungkapan peserta unjuk rasa sebagai sampah demokrasi tidak sejalan dengan paham demokrasi. Sebab, unjuk rasa atau demonstrasi bukan perbuatan tercelah. Unjuk rasa sebagai salah satu sarana untuk menyampaikan pendapat yang dibenarkan dalam demokrasi.

“Unjuk rasa juga hak demokrasi setiap warga negara Indonesia yang dijamin dalam UUD. Tiap warga negara punya hak bicara, termasuk melalui demonstrasi,” imbuh mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996-1999 ini.

Jadi, lanjut Jamiluddin, siapa pun tak boleh melarang dan menghina orang yang demonstrasi. Mochtar Ngabalin seharusnya paham tentang hal itu.

“Karena itu, sepantasnya Mochtar Ngabalin meminta maaf secara terbuka kepada pedemo. Karena ucapannya itu sudah menghina pedemo yang menggunakan hak demokrasinya,” pungkas penulis buku Tipologi Pesan Persuasif tersebut. (jie)