Kastara.id, Bogor – Pegiat rumahpemilu.org dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Usep Hasan Sadikin mengatakan, Badan Pengawas Pemilu Bawaslu sebaiknya lebih fokus pada permasalahan munculnya ‘ujaran kebencian’ ketimbang hoax.

“Ujaran kebencian atau ujaran kekerasan lebih berbahaya dan merusak demokrasi ketimbang hoax,” kata Usep dalam diskusi dengan wartawan, di Sentul, Bogor, Minggu (15/4).

Usep menilai permasalahan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Pilkada lebih disebabkan belum jernihnya pemahaman dan penegakan hukum terhadap “kampanye fitnah” dan “ujaran kekerasan”.

“Yang pertama sering diistilahkan “kampanye hitam”. Yang kedua biasa disebut ujaran kebencian (hate speech). Kampanye fitnah penting lebih dipopulerkan untuk mengganti penggunaan istilah kampanye hitam. Sebab, kata fitnah langsung dipahami sebagai kejahatan dan tertuang dalam regulasi,” jelas Usep.

Di regulasi umum dan pemilu, lanjut Usep,  fitnah merupakan tindakan yang dilarang beserta sanksinya  jelas. Pasal 317 Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Pidana mengganjar fitnah dengan penjara paling lama empat tahun.

Dalam UU No.19/2016 tentang Perubahan UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Pasal 27 Ayat (3) melarang fitnah dengan hukuman merujuk Pasal 317 KUH Pidana. Pasal 69 huruf c UU No. 1/2015 dan No. 8/2015 tentang Pilkada pun melarang memfitnah dengan hukuman sesuai Pasal 317 KUH Pidana.

Sedangkan ketakjelasan pemahaman dan penegakan hukum terhadap “hate speech” lebih pada kecenderungan gebyaj uyah. “Semua pernyataan buruk bisa dinilai sebagai bentuk kebencian. Sehingga, kritik dan pendapat yang tak mengenakan bisa dinilai ujaran kebencian,” katanya

Dampaknya, lanjut Usep, kebebasan bicara berkurang signifikan. Ketakutan dinilai benci atau menjadi pribadi yang mudah melapor merupakan efek samping dari luasnya pemaknaan hate speech.

Padahal, ujaran yang termasuk hate speech harus menyertakan unsur kekerasan atau konsekuensi hilangnya hak warga. “Berdasar penjelasan ini kita perlu mengubah istilah “ujaran kebencian” menjadi “ujaran kekerasan”,” jelas Usep.

Jadi, katanya, ujaran kekerasan adalah ajakan kepada massa untuk melakukan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik terhadap suatu pihak (individu atau kelompok). Dari pengertian ini, kita bisa membedakan pernyataan/ujaran yang perlu dilaporkan atau ditindak sebagai bentuk pelanggaran pidana.

Misal, dalam membedakan pernyataan “orang kafir”, “bunuh kafir”, dan “orang kafir halal darahnya”.

“Mengatakan “orang kafir” bukan ujaran kekerasan sehingga tak dipidana karena tak menyertakan ujaran kekerasan fisik baik ancaman ataupun ajakan untuk melakukan kekerasan,” katanya.

Sedangkan mengatakan “bunuh kafir” dan “orang kafir halal darahnya” termasuk sebagai ujaran kekerasan harus dipidanakan sebagai bentuk kepastian dan ketegasan hukum.

Menurut Usep, regulasi di Indonesia sudah menempatkan ujaran kekerasan sebagai hal yang bisa dipidanakan.

Dalam Pasal 69 UU No.1/2015, melarang kampanye dengan menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau Partai Politik.

“Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah juga masuk dalam ujaran kekeraaan,” katanya. (danu)