Jamiluddin Ritonga

Kastara.ID, Jakarta – Vaksin Nusantara tetap melakukan uji klinis fase 2 meskipun BPOM belum memberi izin. Seolah menantang, uji klinis ini diikuti sejumlah tokoh nasional seperti Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan beberapa anggota Komisi IX DPR RI.

Demikian disampaikan Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul M Jamiluddin Ritonga kepada Kastara.ID, Jumat (16/4) siang.

“Para peneliti Vaksin Nusantara tampak mengabaikan keputusan BPOM. Padahal BPOM dengan tegas menilai uji klinik fase 1 belum memenuhi banyak kaidah tahapan uji klinik,” ungkap pengajar yang biasa disapa Jamil ini.

Sebagai peneliti, lanjut Jamil, idealnya merespons penilaian BPOM tersebut. Telaah ilmiah dari perspektif medis yang dikemukakan BPOM seyogyanya direspons dengan cara yang sama.

“Ironinya, peneliti Vaksin Nusantara tetap melanjutkan uji klinis dengan melibatkan relawan orang-orang pesohor di Indonesia, khususnya Anggota Komisi IX DPR RI. Keikutsertaan mereka ini patut disayangkan, karena sudah mengabaikan BPOM sebagai lembaga yang punya otoritas menetapkan layak tidaknya suatu vaksin untuk diuji lebih lanjut,” tandas penulis buku Tipologi Pesab Persuasif ini.

Menurut Jamil, tindakan sebagian Anggota Komisi IX DPR itu secara langsung sudah merendahkan BPOM. Celakanya, tindakan mereka itu tidak atas dasar pertimbangan medis.

“Keikutasrtaan para Anggota Komisi IX DPR ini terkesan sangat politis. Mereka tidak menyangkal temuan BPOM dari sisi medis, namun keikutsertaannya itu menunjukkan keberpihakan kepada Vaksin Nusantara tanpa argumentasi medis yang jelas,” jelas mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996-1999 ini.

Jamil berpandangan bahwa tindakan demikian seharusnya tidak perlu dilakukan Anggota Komisi IX. “Mereka sebenarnya bisa mempertemukan BPOM dan peneliti Vaksin Nusantara untuk mendengarkan pertimbangan medis dari masing-masing pihak,” paparnya.

Dari argumentasi medis itulah idealnya Komisi IX DPR bersikap dan bertindak tetap mendukung atau tidak melanjutkan uji klinis Vaksin Nusantara. “Jadi idealnya pertimbangannya semata kaidah medis,” imbuh pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini.

Karena itu, sangat disayangkan kalau Vaksin Nusantara didukung karena dinilai produk lokal, apalagi dikaitkan dengan nasionalisme. Pertimbangan demikian sangat membahayakan mengingat persoalan vaksin berkaitan dengan hidup matinya manusia.

“Jadi, uji vaksin seyogyanya dilihat dari kaidah medis, bukan politis. Hanya dengan begitu, kita bisa melihatnya dengan jernih dan objektif,” pungkas Jamil. (jie)