Bahasa Sansekerta

Oleh: Jaya Suprana

DI luar dugaan, naskah “Kemustahilan Luar Kepala” (Kastara.ID, 13 Juli 2020) ternyata memicu gema diskursus secara berkelanjutan. Akibat nama adinda perempuan mahalontaromolog alumnus Universitas Oxford bukan di Ohio namun Inggris, DR. Sugi Lanus yang kebetulan menyandang nama Budi disebut di dalam naskah “Budi dan Amat” (Kastara.ID, 14 Juli 2020) sebagai bukti bahwa nama Budi bukan monopoli lelaki maka DR Budi Lanus memperkuat bukti tersebut secara filologis sekaligus filosofis dan bahasa Indonesia dan Inggris bahkan otentik dilengkapi aksara Sansekerta (yang semoga bisa dimuat oleh redaksi media yang sedang anda baca ini) sebagai berikut:

Buddhi
Kalau orang tuanya paham bahasa Sansekerta menamakan budi itu alasannya karena kata budi itu “feminim”. Buddhi is a feminine Sanskrit noun derived from budh, to be awake, to understand, to know. The same root is the basis for the more familiar masculine form Buddha and the abstract noun bodhi. Buddhi contrasts from manas which means “mind”, and ahamkara which means “ego, I-sense in egotism“.

Sementara aktivis pembela hak perempuan dan kaum tertindas, DR. Nursyahbani Katjasungkana malah memiliki seorang teman perempuan di Komnas Perempuan periode lalu bernama Budi Wahyuni.

Hikmah
Berdasar diskursus yang bergerak ke berbagai penjuru mata angin itu, saya baru tersadarkan bahwa ternyata bahasa Sansekerta mirip bahasa Jerman dalam hal mengenal pembedaan kata berdasar jenis kelamin. Hanya saja saya memang masih harus tanya ke Doktor Sugi Lanus mengenai apakah bahasa Sansekerta juga mengenal jenis kelamin yang ketiga seperti bahasa Jerman.

Sebagai bahasa yang paling banyak mempengaruhi bahasa Indonesia wajar jika bermunculan nama yang bersifat maskulin seperti Joko, Amat, Dulah, Didi, Karno, Dirman, Kartono dan lain-lain, di samping nama yang bersifat feminin seperti Aminah, Sarinah, Wati, Tiwi, Tini, Siti, Kartini dan lain-lain.

Meski dalam perjalanan zaman di mana paham diskriminasi gender terus menyurut, maka terjadi proses pembauran jenis kelamin pada kata-kata bahasa Indonesia, sehingga nama Budi tidak dimonopoli kaum perempuan seperti pada bahasa Sansekerta, namun malah lebih lazim digunakan bagi nama kaum lelaki meski sama sekali bukan berarti nama Budi tidak boleh disandang kaum perempuan.

Fakta
Hikmah lainnya adalah fakta bahwa di antara langit dan bumi tidak ada ihwal yang tidak bisa (jika mau) diperdebatkan akibat memang tidak ada kesempurnaan di alam semesta ini kecuali Yang Maha Sempurna. Satu lagi hikmah dapat dipetik dari diskursus akibat naskah “Kemustahilan Luar Kepala” yaitu fakta bahwa pembahasan yang terkesan mubazir terhadap permasalahan yang sebenarnya sudah dianggap bukan masalah ternyata dapat membuahkan perluasan wawasan pengetahuan tentang apa pun. Termasuk ihwal yang disebut sebagai bahasa secara berkelanjutan bahkan seolah infinitas alias tak kenal batas akhir mau pun awal seperti alam semesta ini. (*)

* Penulis adalah pendiri Pusat Studi Kelirumologi dan Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan.