Oleh: Helmi Hidayat

DI tahun 2018 ini, Allah SWT sekali lagi memanggil saya ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Dulu di pergantian milenium 2000, saya pernah berangkat ke tanah haram ini untuk menjadi tamu dua raja sekaligus: pertama raja kecil di dunia, penguasa jazirah Arab yang mengundang saya untuk menjadi tamunya selama saya berhaji; kedua Raja Diraja Allah SWT, Penguasa langit dan bumi, yang menggenggam Arafah, Mudzdalifah, Mina dan nyawa raja Arab itu di tangan-Nya.

Di musim haji tahun ini, saya berterima kasih pada Kementerian Agama yang memercayai saya menjadi konsultan ibadah haji. Saya juga sangat bersyukur pada Allah, Tuhan yang tahu dosa-dosa saya hingga Ia sekali lagi memanggil saya berhaji ke rumah-Nya. Labbaik Allaahumma labbaik – terima kasih ya Allah untuk selalu tersenyum setiap kali mendengar tangis dan pengakuan dosa hamba.

Menjadi konsultan ibadah tentu berbeda dengan menjadi tamu raja. Dulu, setiap kali saya dan tamu-tamu lain keluar dari rumah mewah yang disediakan raja, para pengawal dan karyawan kerajaan akan tergopoh-gopoh mengantar kami ke mana pun kami pergi. Sekarang, saya dan petugas haji lainnya bukan hanya mengurus diri sendiri, tapi juga harus melayani semua jemaah haji. Dulu, pergi dan pulang dari Masjid Haram kami selalu dikawal. Sekarang kami harus menyambut, melayani dan mengawal para tamu Allah.

Dulu, di rumah yang disediakan raja makanan dan minuman berlimpah, dokter-dokter siap berjaga 24 jam, bahkan kami tak sakit pun mereka periksa. Kini, saya dan kawan-kawanlah yang harus memastikan bahwa makanan buat jamaah tersedia, dokter-dokter juga siap siaga untuk mereka.

Sebagai konsultan ibadah, saya bertugas menjelaskan semua persoalan manasik haji, baik lewat ceramah ataupun konsultasi agama di kantor. Ini tentu tak mudah mengingat dalam fiqih haji ada begitu banyak mazhab dan pendapat ulama. Di Makkah, misalnya, banyak kasus orang tiba-tiba hilang ingatan atau senewen, padahal di tanah air mereka baik-baik saja. Apakah orang-orang yang hilang ingatan dan berhalusinasi ini harus tetap wukuf di Arafah agar kewajiban haji mereka gugur?

Contoh lain, saat musim haji, orang-orang yang bertawaf mencapai ratusan ribu sementara tempat wudlu ada di luar masjid. Jika jamaah tawaf bersama rombongan, lalu ‘’buang angin’’ di tengah tawaf yang menyebabkan batal wudhu, haruskah mereka keluar tawaf lalu wudhu di luar masjid? Setelah wudhu sangat mungkin mereka tak bisa masuk masjid lagi karena dilarang polisi Arab. Para asykar ini melakukan ‘’buka-tutup’’ pintu masjid untuk mengatur arus jemaah yang mencapai ratusan ribu orang.

Sebagai hamba Allah yang berusaha taat pada-Nya, saya tentu ingin sekali setiap hari salat di Masjid Haram. Tapi sebagai petugas haji tak mungkin saya lakukan itu. Menyambut rombongan jemaah dari Madinah dan Jeddah adalah keharusan, entah pagi, siang, sore atau malam.

Terkadang mereka datang bak air bah, berbondong-bondong 10 sampai 20 bus sekaligus, lengkap dengan pakaian ihram. Ketika nanti mereka berbondong-bondong berangkat ke Masjid Haram untuk melakukan umrah atau salat berjemaah, saya cuma bisa menatap mereka dengan pandangan cemburu – enak sekali mereka segera tenggelam dalam energi positif yang terkumpul ribuan tahun di masjid yang dibangun Nabi Ibrahim itu.

Kerinduan itu berbalas. Keasyikan spiritual yang biasanya saya dapati di Masjid Haram justru saya peroleh di Mahbas Jin, kawasan hotel tempat saya menginap. Ceritanya dimulai dari sini:

Saya mendapat jadwal piket menyambut jemaah dari Madinah yang diperkirakan tiba di Makkah Selasa (7/8) dinihari pukul 01:15 WAS, meski rombongan baru tiba pukul 02:00 WAS. Dua jam kami sibuk menyambut mereka, sekitar pukul 04:00 tiba-tiba serombongan jamaah dari kloter berbeda keluar dari lift. Saya tahu mereka adalah rombongan yang tiba lebih awal dan pagi itu akan melaksanakan umrah. Tapi, pukul 04:00 adalah saat yang tidak tepat berangkat ke Masjid Haram. Subuh segera tiba, salat di sana pasti tak terkejar. Dengan baik-baik saya minta mereka berangkat ke Masjid Haram pukul 06:30. Masjid ditutup hingga pukul 07:00 untuk memberi jalan kepada ratusan ribu jamaah yang keluar masjid usai salat subuh berjamaah.

Biasanya, jika yakin dalam suatu rombongan terdapat pembimbing berpengalaman, saya melepas saja rombongan itu jalan sendiri ke Masjid Haram. Tapi pagi itu hati saya seperti terikat oleh rombongan asal Cirebon ini. Seolah ada energi yang begitu kuat memanggil-manggil saya untuk menemani rombongan ini sampai mereka naik bus. Maklum, untuk mencapai bus, sekitar 22.000 jamaah haji yang tinggal di Sektor Enam tempat saya bertugas harus melewati terowongan penyeberangan dulu jika mereka tak mau disambar mobil-mobil Arab yang biasanya dipacu mirip buraq.

Benar saja, begitu rombongan yang terdiri atas lebih dari 100 jamaah ini naik bus, seorang lelaki kurus tiba-tiba tersungkur ke jalan. Nafasnya tersengal-sengal. Ia tertelungkup di balik baju ihramnya, sementara istrinya dengan penuh kasih sayang mengusap-usap punggung dan dadanya. Saya merasakan kekuatan mawaddah mempersatukan kedua sejoli ini dalam cinta. ‘’Rombongan berangkat! Dia tanggung jawab saya,’’ kata saya kepada ketua rombongan yang cemas melihat lelaki yang kemudian saya kenal bernama Zae (bukan nama sebenarnya) ini.

Setelah bus hilang ditelan terowongan, saya antar pelan-pelan Zae ke kamarnya menyeberangi jalan. Ia tersengal-sengal saat naik tangga terowongan. Kata Ani (bukan nama sebenarnya), istrinya, suaminya punya kelainan jantung. Zae benar-benar tak sanggup lagi berjalan ketika tiba di ujung terowongan. Badannya menggigil, istrinya panik, saya lebih panik. Saat itulah saya tegaskan agar mereka tak meninggalkan tempat, saya akan mencari kursi roda. Saya kemudian bergegas berlari menuju hotel terdekat mencari kursi roda. Ajaib. Ada kenikmatan tersendiri ketika saya berlari, bahkan lebih nikmat dari lari yang saya lakukan di antara dua lampu hijau di tempat sa’i.

Saya rindu berlari dalam sa’i di Masjid Haram, Allah ternyata mengizinkan saya ‘’bersai’’ di keramaian jalan Mahbas Jin!

Dari hotel, kembali saya berlari kencang mendorong kursi roda itu ke arah Zae yang masih berdiri menggigil ditopang istrinya.  Saat mendorong pelan lelaki ini menuju hotelnya, saya seperti berjalan dalam tawaf yang selalu mengasyikkan. Saya hibur dia dengan lembut, seperti saya menghibur diri saya yang penuh dosa dengan bisikan-bisikan halus kepada-Nya. Saya yakinkan istrinya yang cemas, seperti saya yakinkan diri saya bahwa Dia yang Rahman dan Rahim pasti mengampuni dosa-dosa saya yang lebih tinggi dari Jabal Uhud.

Saya rindu berputar pelan dalam tawaf di Masjid Haram, Allah mengizinkan saya ‘’tawaf’’ di keramaian jalan Mahbas Jin!

Inilah inti haji dan umrah sesungguhnya, yakni peduli pada kemanusiaan. Mabrur adalah bahasa Arab yang berarti penuh kebaikan pada makhluk lain!

Sampai di lantai 11 hotel tempat Zaenuddin tinggal, ternyata saya belum diizinkan Allah ‘’bertahallul’’. Di depan kamar Zae, ada seorang laki-laki yang sedang berteriak-teriak, lengkap dengan pakaian ihramnya.  Dia memaki-maki istrinya yang dia tuduh bersekongkol dengan jamaah lain meninggalkan dirinya sendiri di kamar. Dari percakapan singkat dengannya, saya tahu dia sedang mengidap halusinasi bahwa dia sudah berhari-hari tinggal di Makkah, padahal dia baru tiba semalam. Dia juga tak mau kembali ke kamarnya karena merasa semua orang mengucilkan dirinya. Terkadang jawabannya normal. Tapi, ketika ditanya apakah dia sudah melaksanakan umrah, lelaki ini selalu menjawabnya secara diplomatis sesuai standar orang yang mengidap halusinasi.

Untung, ada seorang dokter yang menjadi jemaah haji dan menetap di lantai 11 itu. Saya percaya kepada dokter itu ketika meninggalkan Zae dan lelaki yang hilang ingatan ini. Saya tak mau berteori. Tapi, sesungguhnyalah Masjid Haram pasti diisi oleh energi positif yang terdiri atas bermiliar-miliar malaikat yang juga terus bertawaf di sana tanpa henti. Jika seseorang membawa energi negatif, entah apa bentuk dan wujudnya, sudah pasti ia tak sanggup memasuki gerbang masjid  yang dibangun sejak ribuan tahun lalu itu.

Ketika Ani mengusap-usap mesra Zae pinggir jalan, saya merekamnya hati-hati dengan telepon genggam saya. Rekaman videonya mengharukan. Ketika lelaki kawan Zae marah-marah sambil terus meracau, saya juga merekamnya. Tapi rekamannya gagal. Tak ada rekaman wajah lelaki itu, tak ada rekaman suaranya, kecuali gambar koper yang bergoyang-goyang. (*)