Etika Politik Pilpres

Kastara.id, Jakarta – Ketua Fraksi Golkar MPR RI Agun Gunanjar Sudarsa menilai sulit berbicara etika jika bangsa ini belum bisa menegakkan penyelenggaraan negara dengan benar.

Misalnya, dalam penegakan hukum. Kalau koruptor ditulis dengan nama jelas, tidak pakai inisial. Sebaliknya kasus narkoba pakai inisial dan mukanya ditutup. Padahal, sama-sama praduga tak bersalah.

Demikian disampaikan Agun dalam diskusi empat pilar MPR RI bertema ‘Etika Politik Pilpres’ bersama pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Jumat (16/11).

Sama halnya dengan hak berpolitik bagi mantan napi korupsi. Kata Agun, napi itu sudah menjalani hukumannya di penjara dan denda yang harus dibayarkan. Sehingga setelah itu hak politiknya tidak boleh dicabut.

“Faktanya KPU membuat aturan melarang napi menjadi caleg. Padahal itu bertentangan dengan UU Pemilu. Karena itu pula, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda dengan Mahkamah Agung (MA). Kalau begitu, bunuh saja napi itu di Lapas,” ujarnya kecewa.

Juga terkait dengan kebhinekaan, toleransi, dan keberagamaan. Menurut politisi Golkar itu, bangsa ini sudah selesai dengan masalah agama itu sejak Proklamisi 17 Agustus 1945. Tapi orang yang beribadah di rumah, di ruko, dan sebagainya justru masih dipermasalahkan.

Demikian juga halnya soal suara adzan shalat. Disusul dengan tumbuhnya aliran dan faham-faham keislaman yang baru. “Bahwa bangsa ini bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler. Kita adalah Pancasila. Jangan coba-coba mengganti Pancasila,” jelas Agun lagi.

Dengan demikian politik pilpres saat ini sebagai imbas dari kondisi masyarakat yang tidak konsisten dengan aturan dan konstitusi yang telah disepakati bersama. “Maka yang terjadi adalah politik tanpa etika, saling hujat, hasut, fitnah, dan hoaks,” tambah Agun.

Karena itu Agun berharap semua harus kembali pada prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara. “Yang ekonomi kembali pada prinsip ekonomi, agama, pendidikan, keadilan dan kesejahteraan semua harus tegak dan sejalan dengan konstitusi dan perundang-undangan,” ungkapnya.

Contohnya lagi, parpol tak boleh berbisnis. Padahal, biaya politik seperti saksi di pemilu itu sangat besar. Anehnya usulan dana saksi ditolak. Akibatnya parpol banyak diisi oleh pemodal, pengusaha, dan sebagainya.

“Kalau politisi dan pemodal bersatu, maka yang terjadi bargaining politik. Seharusnya parpol banyak diisi oleh aktivis. Sebagai proses rekrutmen agar mereka menjadi calon pemimpin bangsa yang idealis dan punya visi di masa depan,” pungkasnya. (danu)