Mendagri

Oleh: Jaya Suprana

RMOL.ID memberitakan bahwa meski tingkat partisipasinya tinggi, namun sistem pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung dinilai negatif lantaran biaya politik yang sangat tinggi.

Kaji  Ulang
Maka Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mewacanakan untuk melakukan kaji ulang pemilu.

“Pertanyaan saya adalah apakah sistem politik Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun. Banyak manfaatnya partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudharatnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala Daerah kalau nggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati mana berani dia. Udah mahar politik,” kata Tito usai RDP dengan Komisi II, di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11).

Sebagai Mendagri, Tito meminta agar sistem Pilkada langsung ini dikaji ulang. “Survei. Laksanakan riset akademik. Riset akademik tentang dampak negatif dan positif pemilihan Pilkada langsung. Kalau dianggap positif, fine. Tapi bagaimana mengurangi dampak negatifnya? Politik biaya tinggi,” ujar Tito.

Sebagai mantan Kapolri, Tito  mengaku prihatin dengan banyaknya kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) lembaga antirasuah. Purnawirawan jenderal bintang empat ini tidak percaya jargon setiap kepala daerah pada saat kampanye ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa.

EVoting
Sebagai rakyat jelata yang semula mendukung kemudian prihatin terhadap apa yang disebut sebagai pemilu langsung akibat terbukti bukan saja mahal biaya namun juga mengorbankan nyawa para penyelenggara pemilu, saya antusias menyambut rencana Menteri Dalam Negeri melakukan kaji ulang pemilu.

Pemilu langsung secara manual juga terbukti rawan kecurangan sama halnya dengan pemungutan pajak secara manual.

Pemilu sebaiknya jangan memilukan. Maka saya menyampaikan saran agar pemilu di persada Nusantara diselenggarakan secara bukan manual tetapi elektronikal alias apa yang disebut sebagai evoting.

Kemauan
Masalah perwujudan memang tidak sederhana, sebab pemilu elektronikal pasti akan mendapat perlawanan dari para pihak yang sudah menikmati nikmatnya keuntungan politis maupun komersial dari pemilu manual. Namun apabila benar-benar diyakini bahwa pemilu evoting mampu menekan biaya penyelenggaraan pemilu, serta mencegah kecurangan apalagi mengurangi resiko jatuhnya korban nyawa, maka pada hakikatnya tidak alasan untuk menolak e-voting.

Sebenarnya sejak lama para ilmuwan BPPT sudah menyatakan siap mendukung teknologi dan sistem penyelenggaraan e-voting di Indonesia.

Kalau mau pasti mampu. Kalau tidak mampu berarti memang sekadar tidak mau. (*)

** Penulis adalah rakyat yang mendambakan pemilu yang jujur dan hemat-biaya serta tidak mengorbankan nyawa seorang rakyat pun.