UU Guru dan Dosen

Kastara.id, Jakarta – Lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat terkait tenaga pendidik. Bahkan, ada usulan UU Guru dan Dosen harus dipisahkan atau sebaliknya.

Untuk itu, Komite III DPD RI menggelar RDP dengan beberapa narasumber untuk membahas inventarisasi materi penyusunan RUU tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (17/1).

Ketua Komite III DPD Fahira Idris mengatakan bahwa di tengah-tengah masyarakat memang terdapat beberapa hal dinamika permasalahan terkait UU No 14 Tahun 2005, bahkan gugatan UU Guru dan Dosen untuk direvisi didasari perbedaan psikologi, karakter, dan pola pembinaan antara guru dan dosen.

“Sehingga diperlukan kajian yang berdampak pada profesi guru dan adanya tuntutan penguatan dimensi perlindungan hukum bagi guru berkaitan dengan eskalasi kekerasan yang dialami guru,” ucap Senator asal DKI Jakarta itu.

Selain itu, lanjut dia, masih adanya keluhan pemerataan profesi guru, status guru honorer, sertifikasi guru, uji kompetensi guru, hingga beban guru. “Hal ini yang perlu ditingkatkan dan diperhatikan bersama,” harap Fahira.

Fahira menambahkan, untuk dosen, masih banyak dosen yang belum berkualifikasi pendidikan minimal S1. Tak hanya itu, jumlah pendidikan dosen S3 masih banyak yang belum memiliki jabatan akademi itu. “Jumlah guru besar masih terbatas, publikasi ilmiah juga masih terbatas maka menjadi tantangan tersendiri,” tegas dia.

Sementara itu, Anggota Komite III DPD Abdul Jabbar Toba mengatakan, secara statistik seorang guru idealnya membawahi 14 murid. Namun kenyataannya masih banyak ketimpangan, masih ada sekolah yang hanya memiliki dua orang guru. “Setelah jam sekolah mereka harus berfikir bagaimana untuk mencari tambahan. Mereka biasa berkebun atau mengojek,” tutur dia.

Ia menambahkan belum lagi gaji para guru honorer yang rata-rata berkisar Rp 250 ribu. Hal itu tentunya bukan masalah baru dalam dunia pendidikan Indonesia. “Kita tahu Rp 250 ribu itu sangat kecil. Apa yang bisa mereka perbuat,” kata senator asal Sulawesi Tenggara itu.

Di kesempatan yang sama, Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi mempertanyakan apakah mendesak UU Guru dan Dosen harus segera direvisi. Menurutnya, yang mendesak untuk di revisi adalah UU No.2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. “UU Guru dan Dosen jika di revisi beberapa pasal dengan prinsip utamanya,” tegas dia.

Unifah menambahkan, prinsip utama yang harus diperhatikan adalah jangan meniadakan atau kembali mundur bahwa guru bukan profesi. Selain itu, guru yang profesional senantiasa didasarkan pada prinsip-prinsip hak dan kewajiban sebagai profesi yang seimbang. “Guru Profesional dalam UU Guru dan Dosen meliputi azas-azas tentang profesionalitas, kesejahteraan, dan perlindungan guru,” jelasnya.

Selain itu, Pengurus Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Armai Arief menjelaskan bahwa dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan. Untuk itu, ADI telah mempertimbangkan untuk dibentuk UU tentang Dosen. “Dalam UU itu juga harus dipisahkan baik itu Dosen diploma, sarjana, dan pascasarjana,” ujar dia. (npm)