Kastara.id, Jakarta – Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, RUU tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal diperlukan untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Hal itu disampaikan dalam diskusi Diseminasi RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal ‘Optimalisasi Penelusuran Aset Hasil Tindak Pidana Melalui Regulasi Pembatasan Transaksi Uang Kartal’, di Jakarta, Selasa (17/4).

Hadir dalam kesempatan tersebut Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Ketua PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin, Ketua KPK Agus Rahardjo, Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto, Ketua Tim Penyusun RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal Yunus Husein, Wakil Ketua PPATK Dian Ediana Rae, serta Dubes Australia Gary Quinlan.

“RUU ini diharapkan mampu membatasi transaksi uang kartal atau tunai yang sering disalahgunakan oleh pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, serta bisnis ilegal lainnya,” tegas Ketua DPP Golkar itu.

Biasanya para pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, atau money laundering kata Bamsoet, selalu berupaya menghindari transaksi melalui lembaga keuangan.

Sebab, jika melalui lembaga keuangan akan sangat mudah dilakukan  pelacakan kembali transaksi yang mereka lakukan. “Para pelaku tindak pidana lebih memilih menggunakan uang tunai agar transaksi kejahatannya tidak mudah terdekteksi,” ujarnya.

Menurut Bamsoet, dalam kasus tindak pidana korupsi dan terorisme di Indonesia, para pelaku lebih banyak menggunakan transaksi keuangan tunai. Penggunaan transaksi tunai dalam kasus korupsi menjadi kendala bagi Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam melakukan pelacakan aliran dana.

“Para penyidik pun sulit untuk menelusuri kembali transaksi tersebut, karena tidak tercatat dalam sistem keuangan,” ungkapnya.

Terungkapnya beberapa kasus korupsi dan terorisme yang diduga dibiayai dari pihak dalam maupun luar negeri, menimbulkan kecurigaan bahwa kasus-kasus tersebut dilakukan  dengan transaksi tunai.

”Maka, transaksi tersebut tidak tercatat dan aparat berwenang sulit untuk melakukan pelacakan,” kata Bamsoet.

Dikatakan, besaran jumlah transaksi tunai di suatu negara memiliki korelasi dengan indeks korupsi suatu negara. Negara dengan jumlah transaksi tunainya tinggi, memiliki persepsi tingkat korupsi yang lebih buruk jika dibandingkan dengan negara yang transaksi tunainya rendah.

“Sebagai contoh, India, Bulgaria, Rusia, dan termasuk Indonesia yang transaksi tunainya di atas 60%, memiliki persepsi tingkat korupsi yang buruk. Sementara Denmark, Swedia, dan Finlandia yang transaksi tunainya rendah, sekitar 10%-20%, memiliki persepsi tingkat korupsi sangat rendah,” jelasnya.

Di Prancis, Belgia, atau Brazil telah dilakukan pembatasan transaksi keuangan tunai. Di negara-negara tersebut, aturan pembatasan transaksi keuangan tunai digunakan sebagai salah satu sarana untuk menekan tingkat korupsi. Sejauh ini upaya tersebut efektif meminimalisir korupsi yang terjadi. (danu)