Ahmad Basarah

Kastara.ID, Jakarta – Banyak hasil survei dari beragam lembaga survei mengenai elektabilitas tokoh yang dirilis belakangan ini. Hasilnya adanya yang relatif konsisten, namun ada juga yang bertolak belakang.

Demikian diutarakan Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul M Jamiluddin Ritonga kepada Kastara.ID, Sabtu (17/4) petang.

Menurut pria yang biasa disapa Jamil ini, hasil elektabilitas calon presiden 2024 yang relatif konsisten ada enam nama. Mereka adalah Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

“Namun seminggu terakhir ini ada muncul nama baru yang elektabilitasnya tinggi di luar enam nama tersebut. Mereka itu Airlangga Hartarto, Moeldoko, Muhaimin Iskandar, dan Yaqut Cholil Qoumas. Padahal, selama ini elektabilitas mereka sangat rendah, bahkan tidak muncul,” jelas Jamil.

Tentu saja moncernya nama-nama tersebut menimbulkan tanda tanya. Sebab, dalam periode itu tidak ada gebrakan dari mereka yang menonjol sehingga dapat mengerek elektabilitasnya menjadi sangat tinggi.

Selain itu, ada juga survei tokoh wanita yang dianggap layak dipilih bila pilpres digelar hari ini. “Hasilnya, elektabilitas Puan Maharani paling tinggi. Kemudian diikuti Iriana Jokowi, Sri Mulyani Indrawati, Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini, dan Grace Natalie,” ujarnya heran.

Hasil survei ini juga menimbulkan pertanyaan. Puan yang selama ini elektabilitasnya sangat rendah, tiba-tiba menjadi perempuan yang paling layak dipilih pada pilpres.

“Hal yang juga sulit diterima akal sehat, munculnya Iriana Jokowi dengan elektabilitas tertinggi kedua. Padahal, selama ini muncul ke publik saja dapat dihitung jari,” papar penulis buku Riset Kehumasan ini.

Ironinya, imbuh Jamil, setelah hasil survei itu dirilis, banyak komentar dari pengamat yang bernada positif terhadap Airlangga Hartarto, Puan Maharani, dan Iriana Jokowi.

“Kasus tersebut mengindikasikan, hasil survei dapat digunakan untuk menggalang pendapat umum. Kalau hasilnya valid, tentu tidak masalah, karena survei pendapat umum sudah menjadi instrument demokrasi,” tandas pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini.

Tapi, sungguh tidak beretika, bila hasil survei invalid tapi tetap digunakan untuk menggiring masyarakat memilih sosok tertentu. Ini namanya pembohongan publik.

“Lembaga survei yang seperti itu juga akan kehilangan kredibilitas. Hasil aurvei mereka akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat,” imbuh mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996-1999 ini.

Masalahnya, jangan sampai hal itu hanya dilakukan beberapa lembaga survei, tapi masyarakat akan menggeneralisasikan semua lembaga survei di Indonesia demikian. Kalau hal itu terjadi, maka hasil survei dari berbagai lembaga survei tidak lagi akan dipercayai masyarakat.

“Untuk mencegah hal itu, sebaiknya semua lembaga survei bersama-sama membuat kode etik yang menjadi acuan bagi semua lembaga survei. Melalui kode etik inilah nanti dapat diberikan sanksi bagi yang melanggar,” tandasnya. (jie)