Muhammad SAW

Oleh: Mohammad Sabri

SEBILAH “nama” hadir tak sekadar jejak, tapi juga perihal tentang cinta. Jejak, karena nama adalah identifikasi istimewa sesuatu atau seseorang. Cinta, sebab nama memiliki makna eksotis, misteri dan magis. Itu sebabnya Allah “mengajari Adam nama-nama” (QS 2:30) untuk mengetahui status ontologi segala realitas. Karena alasan yang sama, seorang kekasih enggan mengungkap nama kekasihnya, karena dia tidak berkenan orang lain menyingkap rahasia-rahasia cintanya.

Dalam tradisi ‘irfani antik ditemukan metode istiqâq kabîr, pengambilan makna tertentu dari setiap huruf dalam sebilah kata. Dan Muhammad terdiri atas m dari majd (“keagungan”), h dari rahmah (“rahmat”), m dari mulk (“kerajaan”), dan d dari dawâm (“keabadian”).

Nabi SAW acapkali merapalkan sejumlah namanya selain Muhammad, yakni Ahmad (berakar dari kata yang sama, hamd—“yang  paling dipuji”); al-Mâhî, “orang yang melaluinya Allah menghapuskan (mahw) kekafiran”; dan alhâsyir, “orang yang di kakinya umat manusia berhimpun di Hari Kiamat”.

Di antara nama-nama tersebut, Ahmad (QS 61:6) memiliki posisi istimewa dalam teosofi Islam, yang sepadan dengan Paraclete yang kehadirannya telah dinubuat dalam Injil Yohanes. Pembacaan Paracletos sebagai Paricletos yang bermakna “paling terpuji” membuat penafsiran seperti itu menjadi mungkin, dan sebab itu, Ahmad secara umum diterima sebagai nama Nabi Muhammad SAW dalam Taurat dan Injil. Ahmad adalah nama langit spiritual Muhammad yang diandaikan sebagai “benih-nama” semua nabi yang mekar dari tetesan pendar cahaya primordianya. Di titik ini, sufi ‘Aththâr dalam Manthiq al-Thair (“Kidung Burung-burung”) menyenandungkan sepenggal hadis quds, Allah SWT berfirman: Anâ Ahmad bilâ mîm, “Akulah Ahmad tanpa m,” yakni Ahad, “Yang Maha Esa”.

Salah satu tema paling penting dalam profetologi ‘irfani adalah nûr Muhammad (“cahaya Muhammad”): Ia laksana cahaya matahari yang dikitari segala sesuatu, dan secara alegoris dilukiskan dalam QS 33:44 sebagai sirâj munîr, “yang paling bercahaya”, juga QS 5:15, “Telah datang kepada kalian cahaya (Muhammad) dan kitab yang jelas”.

Al-Hallaj, sebab itu, pada eksposisi puitika-mistikalnya, menyingkap ontologi Muhammad dalam Kitâb Thawâsin: “Dialah lampu dari cahaya Yang Maha Misteri…yang rumahnya ada dalam segala realitas rahasia. Cahaya para nabi dan realitas kosmik bermuasal dari cahayanya yang mendahului pra-keabadian dan merengkuh pasca-keabadian. Tak ada yang lebih berpendar dari cahayanya. ”Allah SWT berfirman dalam hadis qudsLaulaka, “sekiranya bukan karena engkau Muhammad, segala realitas tidak Aku ciptakan!” Laulaka, “sekiranya bukan karena engkau Muhammad, Aku tidak ciptakan Adam!”. Di titik inilah, Ibn ‘Arabi dalam risalah monumentalnya, al-Syajarah alKawn (“Pohon Realitas”, “Pohon Kosmik” atau “Asal Usul Semesta”) mendaku, “Muhammad adalah KUN, benih segala “realitas” (kawn-“alam”). Dan secara eksotik Alquran meneguhkan posisi ontologis Muhammad dalam narasi agung: wa  arsalnâka illa rahmatan li al-‘âlamîn: “Dan tidaklah Kami utus engkau (Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh realitas”. Dia menjadi ‘simpul cinta’ seluruh keperiadaan, karena dia adalah KUN, dan segenap realitas-alam (kawn) adalah FAYAKUN.

Perihal trans-mutasi gen, ontologi Muhammad—baik sebagai bapak (“biologis”) maupun Nabi (“spiritual”)—sebab itu, dalam tradisi ‘irfani menjadi sesuatu yang mungkin dan menyentuh segenap semesta dan siapapun yang dikendaki-Nya. (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)