Omnibus Law

Kastara.ID, Jakarta — Gelombang penolakan atas pembahasan dan rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja kembali terjadi lagi. Kemarin (16/7), aksi demonstrasi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang terdiri dari buruh, petani hingga mahasiswa memenuhi jalanan di depan gedung Parlemen. Selain dinilai sarat kontroversi dan tidak mencerminkan keadilan bagi rakyat, proses penyusunan draft RUU Omnibus Law yang terkesan tertutup juga menjadi pangkal penolakan RUU ini. Oleh karena itu draft RUU Cipta Kerja yang ada sekarang ini perlu diformulasi ulang dengan mengedepankan prinsip keterbukaan.

Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi membuat kegaduhan baru di negeri ini. Pasalnya, RUU ini bersentuhan langsung dengan sendi-sendi kehidupan rakyat. Saat ini penolakan RUU Cipta Kerja sudah meluas ke berbagai lapisan masyarakat. Tidak hanya buruh, civil society, mahasiswa, dan akademisi tetapi juga organisasi-organisasi keagamaan besar.

“Saya khawatir jika RUU Cipta Kerja tetap di bahas apa lagi disahkan di masa pandemi ini akan buat rakyat semakin resah dan melahirkan kegaduhan baru. Langkah bijak yang bisa diambil di masa pandemi ini adalah jangan dulu ada pembahasan di semua klaster yang ada dalam RUU ini. Sangat bijak jika baik Pemerintah maupun DPR bersedia memformulasikan ulang draft RUU ini dengan melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik atau mengedepankan prinsip keterbukaan, setelah pandemi ini berakhir. Saat ini biar rakyat fokus dulu membantu Pemerintah memutus rantai penularan corona,” ujar Fahira Idris di Jakarta (17/7).

Menurut Fahira, kontroversi yang mengitari RUU Cipta Kerja bukan hanya soal ketenagakerjaan, tetapi juga terkait klaster terkait investasi dan perizinan. Isu-isu dalam RUU ini mulai dari soal proses pengadaan tanah untuk kawasan non-pertanian yang berpotensi memasifkan alih fungsi lahan pertanian dan soal panjangnya masa izin HGU yang bisa diperoleh perusahaan perkebunan besar, juga menjadi biang keresahan rakyat. Termasuk juga soal aturan pembebasan lahan atas nama pembangunan yang tidak hanya terbatas untuk kepentingan umum dan pembangunan infrastruktur tapi juga kepentingan investor tambang, pariwisata, dan kawasan ekonomi khusus.

“Kenapa gelombang protes dan penolakan semakin membesar, karena sangat banyak pihak yang terdampak jika RUU ini disahkan. Makanya, sekali lagi, penting draft RUU ini diformulasikan ulang dengan mengedepankan prinsip keterbukaan. Jadikan lapisan masyarakat yang paling terdampak terutama pekerja, petani, masyarakat adat, civil society, sebagai stakeholder utama penyusunan draft RUU ini,” tukas Senator Jakarta ini.

Sebagai informasi, RUU Cipta Kerja terdiri atas 11 klaster pembahasan. Selain klaster ketenagakerjaan, 10 klaster lainnya yaitu, penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, serta kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM dan perkoperasian. Kemudian, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek strategis nasional, dan kawasan ekonomi. Sejak awal penyusunan draft dan saat hendak dibahas di DPR, RUU ini sudah mendapat sorotan luas dari publik. (dwi)