Pemilu

Oleh: J. Kristiadi

Kalau orang masih ribut soal calon tunggal atau kotak kosong, bagi saya itu sudah sudah jelas; kemungkinan calon tunggal atau kotak kosong sudah selesai. Bagi saya yang menggugah adalah kerja-kerja partai dalam menjalankan tugas-tugas partai itu luar biasa.

Tapi kerja keras itu agak mubazir, karena sistemnya rusak, sistem politik kita itu rusak. Buktinya adalah tahun 2015, 2017, 2018  dan 2019  pileg sama pilpres serentak dilaksanakan tanpa henti. Pada 2020 ada pilkada lagi, itu dari penggatian Pilkada tahun 2015. Berhenti setahun ada lagi tahun 2023, yaitu dari penggantian hasil pilkada yang tahun 2018 ini. Setelah itu tahun 2024, di negara gila ini, semua pilkada serentak semua. Tidak ada pilkada dunia yang seperti ini. Tidak ada di negara lain yang pilkadanya seragam semua.

Jadi kerja-kerja yang dilakukan partai tadi mengerjakan sesuatu yang sudah salah, dan rusak. Salah satu tugas partai yang tidak kalah penting, yaitu memperbaiki undang-undang juga tidak dilakukan. Padahal ada yang salah dengan undang-undang terkait sistem pemilu serentak ini.

Sistem pilkada dan pemilu serentak membuat partai-partai semua bertarung dengan sesamanya. Kita sudah berbusa-busa mengatakan bahwa pemilu selama ini tidak konsolidasi tapi dikonsolidasi. Orang-orang yang terlibat penyusunan UU pilkada ini merasakan bagaimana sakitnya mereka mengalahkan kawan atau dikalahkan kawan sendiri. Bayangkan bagaimana Mas Arya Bima harus mengalahkan mbak Puan. Jadi ini sistemnya sudah rusak.

Jadi para cendekiawan perlu berkumpul untuk memperbaiki dan over evaluasi sistem kerja kita yang gila ini. Sistem seperti sekarang ini menurut saya menjadi penyebab partai-partai tidak sempat membikin kader. Kapan mau sempat memperbaiki atau mencetak kader, kalau mereka berkelahi melulu. Siapa yang menyuruh mereka berkelahi? Ya, sistem ini. Tapi herannya tokoh-tokoh partai diam saja. Mungkin tokoh partai ada yang tidak seperti itu, tapi ketua-ketua umum partainya sudah beku.

Mungkin hampir tidak ada partai yang mau memerintahkan orang-orang pintar untuk memperbaiki sistem ini atau orang-orang pintarnya juga sepertinya enggan memberbaiki sistem ini. Sebenarnya pakem kita, pemilu dengan semua kegaduhan dan serem-serem ini tujuan utamanya adalah bagaimana pemerintahan di Indonesia yang efektif saja dulu. Nah, yang kita pikirkan sejak dahulu sebenarnya seperti itu. Tapi percepatan perubahan yang sekarang ini membuat kita tidak sempat mikir. Semua senangnya berkelahi terus. Kalau ini dibiarkan terus, mau jadi apa. Saya tidak mengerti lagi, habis waktu semua.

(*) Peneliti Senior dari Center for Stategic and International Studies (CSIS)

(watyutink)