Istana Gyeongbok

Kastara.id, Jakarta – Bagi pelakon senior, Yati Surachman, dapat menginjakkan kaki di Istana Gyeongbok, sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya. Kala menghadiri Independence Movement International Film Festival, salah satu aktris senior Indonesia ini mendapat kehormatan mengunjungi istana yang menjadi simbol keagungan kerajaan dan kebanggaan rakyat Korea, Istana Gyeongbok.

Pelakon yang mumpuni memerankan pelbagai karakter ini merasa beruntung dapat mengunjungi sebuah negeri yang bangsanya sangat menghargai peradaban.

“Ini mengingatkan kita, atau sekurang-kurangnya saya, agar jangan sampai gagap membaca sejarah. Kita sering luput menghargai tokoh yang membuat sejarah bagi negara kita. Padahal belajar dari sejarah bisa membentuk manusia jadi lebih beradab,” ujarnya melalui pesan WhatsApp ke redaksi kastara.id dari Kota Seoul, Korea Selatan, beberapa waktu lalu.

Melihat megahnya istana Gyeongbok, Yati mengaku kerap sedih bila melihat sejumlah warisan budaya berupa Istana atau Keraton di Indonesia yang diabaikan kelestariannya. Banyak bangunan atau area bekas kerajaan yang harusnya dapat menjadi artefak sejarah budaya namun kurang terawat dan dibiarkan hancur.

Keraton Kasultanan Yogyakarta misalnya, semakin tidak terlihat batas teritorialnya karena padat dengan rumah penduduk, serta dikelilingi pedagang dan toko kelontong. “Padahal Keraton Yogyakarta merupakan kerajaan peninggalan Kerajaan Mataram yang sudah berumur ratusan tahun,” kata aktris yang juga penggiat budaya ini.

Istana Gyeongbok

Istana Gyeongbok sendiri berada di utara Kota Seoul (Gangbuk), Korea Selatan. Istana ini didirikan tahun 1394 oleh arsitek Jeong do Jeon. Termasuk istana paling besar, dari lima istana yang dibangun oleh Dinasti Joseon.

Berdiri di wilayah seluas 410.000 meter persegi, istana ini sempat hancur ketika invasi Jepang ke Korea tahun 1592-1598. Kemudian dibangun kembali selama tahun 1860-an dengan 330 buah komplek bangunan dan 5.792 kamar.

Sisi lain Korea Selatan, kata, Yati, semangat warganya yang masih memperhatikan budaya tradisional dan melestarikan, serta mengembangkannya. “Adat istiadatnya kuat, budaya sopan santun, dan tata krama yang tidak boleh dilanggar. Sangat menghormati tamu,” ujar Yati.

Peraih The Best Actress dalam Festival Film Asia Pasifik (FFAP) 1980 lewat filmnya “Perawan Desa” kembali merasa mendapat kehormatan ketika diminta mengenakan Hanbok. Hanbok (Korea Selatan) atau Choson-ot (Korea Utara), adalah pakaian tradisional masyarakat Korea. Hanbok pada umumnya memiliki warna yang cerah, dengan garis yang sederhana serta tidak memiliki saku.

“Senang mengenakan busana tradisi ini. Hanbok sama halnya Batik di Indonesia, menjadi pakaian khas yang menjadi ciri budaya bangsa. Diplomasi kebudayaan luar biasa dari dua negara yang banyak memiliki kesamaan, serta industri budaya pop-nya yang terus mengalami pertumbuhan,” papar Yati Surachman. (hero)