Kastara.id, Jakarta – Pembangunan bendungan merupakan pekerjaan konstruksi yang komplek pelaksanaannya, membutuhkan teknologi tinggi juga resiko tinggi termasuk resiko sosialnya.

“Pembangunan bendungan sangat komplek pelaksanaannya sehingga harus sangat berhati-hati. Sehingga dalam setiap pembangunannya sudah harus mendapat sertifikasi desain dari Komisi Keamanan Bendungan (KKB) yang ketuanya Menteri PUPR dan anggotanya gabungan profesional dan pemerintah yang memang ahli seperti ahli geologi, ahli hidrologi,” kata Kepala Pusat Bendungan, Ditjen SDA Kementerian PUPR Imam Santoso dalam Diskusi Jumatan Bersama Media di Jakarta (16/9).

Ditambahkan oleh Imam, pembahasan di KKB dilakukan mulai tahap perencanaan sampai desain bendungan yang memerlukan waktu pembahasan satu sampai dua tahun karena melewati beberapa persidangan dan bila dalam sidang pleno disetujui maka bisa dilakukan pelelangan untuk konstruksinya.

Dalam pelaksanaan fisiknya pun harus memenuhi persyaratan yakni sudah ada penetapan lokasi oleh Gubernur sehingga bisa dilakukan pembebasan lahan minimal lahan tapak bangunannya dan jalannya. Kemudian hal penting lain adalah rencana pembangunan bendungan harus ada dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). “Kalau bendungan tidak ada dalam RTRW maka kami tidak berani membangun. Kemudian juga mesti ada Amdal (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) dan Larap (Land Acquisition Resettlement Action Plan),” ujarnya.

Imam menambahkan, beberapa pembangunan bendungan sering kali terkendala pembebasan tanah. Misalnya Bendungan Tanju dan Mila di Nusa Tenggara Barat, Bendungan Tukul di Jawa Timur, dan Bendungan Pidekso di Jawa Tengah yang progress pembangunan fisiknya terlambat karena terkendala lahan. Saat ini pembangunan Tanju dan Mila progress-nya mencapai 31% dari target 34%, Bendungan Tukul masih 14% di bawah target sebesar 19% dan Bendungan Pidekso saat ini progress fisiknya 9% dari target 15%. (nad)