RKUHP

Kastara.ID, Jakarta – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan disahkan pada 24 September. Banyak pro kontra terhadap revisi pasal-pasal yang dinilai akan merugikan masyarakat.

Salah satunya adalah korban perkosaan yang dilarang melakukan aborsi dengan alasan apapun. Jadi dalam RKHUP ini tidak mengizinkan korban perkosaan seperti untuk menggugurkan kandungan yang usianya lebih dari enam minggu.

Peneliti Institute of Criminal Justice Research (ICJR) Indonesia Maidina Rahmawati menilai pasal ini akan perparah nasib korban perkosaan.

Maidina juga mengatakan RKUHP memuat pasal-pasal ‘ngawur’ yang berpotensi menjerat kelompok adat, pasangan sesama jenis, hingga kelompok agama minoritas.

Ditambah lagi menurut Maidina, DPR juga telah berhenti mempublikasikan hasil pembahasan RKUHP sejak 30 Mei 2018.

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), melalui Jessica Rachel salah satu peneliti PKBI juga mengkritisi agar DPR RI untuk menunda RKUHP dan dikaji ulang bagaimana ini bisa membela korban perkosaan dan perempuan yang harus menggugurkan kandungan karena kondisi medis.

Sementara dari sisi akademisi, Asmin Fransiska selaku Dekan Fakultas Hukum Atma Jaya Jakarta menyarankan DPR untuk menunda pengesahan RKUHP dan melihat lagi kualitas rancangan regulasi itu. Ia mengatakan sebaiknya mengutamakan kualitas dibanding kuantitas. DPR bahkan terlihat terburu-buru untuk membahas dan mengesahkan.

Namun Arsul Sani membantah tudingan itu. Ia mengatakan yang dilakukan oleh pemerintah dan anggota dewan bukanlah pembahasan. Karena rapat itu dilakukan pada akhir pekan, maka tidak bisa dilakukan di gedung DPR.

Asrul juga mengatakan secara politik hukum, isi RKUHP sudah disepakati, dan hal itu yang perlu diketahui publik. (rya)