Climate-induced migration
Kastara.id, Jakarta – Ketua BKSAP Nurhayati Ali Assegaf memimpin Delegasi Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI untuk menghadiri Parliamentary Meeting on the Occasion of the United Nations Climate Change Conference di sela-sela Pertemuan COP23 di Bonn, Jerman yang berlangsung pada 6-17 November 2017.
Pertemuan antarparlemen ini digagas oleh Inter-Parliamentary Union (IPU) bekerja sama dengan Parlemen Fiji dan Parlemen Jerman. Dalam sesi diskusi mengenai “Taking the Paris Agreement Forward,” Ketua BKSAP menyampaikan intervensi. “Sudah saatnya kita berhenti berbicara dan mulai melakukan aksi nyata. Perubahan iklim merupakan situasi darurat yang harus segera ditangani,” katanya.
Bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim, lanjut Nurhayati, dapat menimbulkan banyak korban jiwa. Bukan hanya Undang-Undang yang kita butuhkan, tetapi tindakan. Apabila kita bisa bekerja sama dalam memerangi terorisme, maka kita pasti bisa bekerja sama untuk menangani perubahan iklim.
Pada kesempatan itu, Ketua BKSAP juga mendorong Fiji, selaku Presiden COP23 untuk mengambil langkah konkret.
Sementara itu dalam sesi diskusi “Low-carbon economy: What role for legislators?” Wakil Ketua BKSAP Siti Hediati Soeharto menegaskan pentingnya green economy, green growth, dan green investment. “Kita perlu menyusun kebijakan yang dapat mengubah perilaku kita. Kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta harus terus ditingkatkan,” katanya.
Selain itu, tujuan pembangunan global yang tercakup dalam SDGs juga tidak dapat dikesampingkan dalam mengatasi perubahan iklim. Komitmen DPR RI dalam hal ini, tercermin dari diselenggarakannya World Parliamentary Forum on Sustainable Development pada September lalu di Bali, yang dalam salah satu diskusinya membahas mengenai SDGs dan aksi perubahan iklim.
Anggota BKSAP Agustina Wilujeng Pramestuti juga memberikan pandangan dalam sesi “Climate change science”. Agustina menegaskan bahwa ada banyak aspek yang perlu diperhatikan dalam menyusun kebijakan. “Langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus disesuaikan dengan prioritas dan kapabilitas nasional,” tegasnya.
Dalam diskusi mengenai “Climate-induced migration” Ketua BKSAP Nurhayati Ali Assegaf menegaskan pentingnya aspek demokrasi.
“Salah satu penyebab timbulnya permasalahan dalam isu migrasi adalah demokrasi yang dipaksakan. Oleh karena itu, bukan hanya political driver yang perlu diperbaiki, tetapi dibutuhkan sistem demokrasi yang berpedoman pada kearifan lokal, disertai dengan dialog antarbudaya dan antaragama untuk meningkatkan rasa saling menghargai serta mempererat kesatuan dan kebersamaan masyarakat.
Apapun latar belakangnya, baik itu dari segi etnis, budaya, maupun agama, setiap individu berhak untuk menikmati kehidupan yang damai dan tenteram di tengah-tengah masyarakat yang demokratis,” paparnya.
Dalam pertemuan tersebut, para delegasi sepakat untuk mengadopsi sebuah Outcome Document. Melalui dokumen tersebut, para delegasi sepakat untuk mendorong diratifikasinya Paris Agreement secara global. Saat ini, ada 169 negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut, termasuk Indonesia.
Selain itu, Pertemuan Parlemen COP23 juga meminta masing-masing negara untuk memperbarui komitmen Nationally Determined Contributions (NDC) 2020, terutama terkait penggunaan energi terbarukan. (arya)