Prabowo Subianto

Oleh: Muhammad AS Hikam

PEDULI amat dengan fakta bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU), lembaga resmi penyelenggara Pemilu di Indonesia, BELUM mengumumkan siapa PEMENANG Pilpres 2019 tanggal 17 April lalu. Tapi Prabowo Subianto dan pasangannya Sandiaga Uno dengan terang-terangan telah menggelar deklarasi kemenangan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024.

Apakah ini sebuah keputusan yang bijak, legal, dan sahih sesuai protap dan UU yang berlaku? Silakan anda komentari dengan menggunakan berbagai perspektif. Tetapi, saya kira kita akan segera tahu secara resmi siapa Presiden dan Wapres TERPILIH setelah KPU mengumumkan. Tetapi saya, sebagai pengamat politik, cenderung mengatakan bahwa langkah atau manuver politik Prabowo-Sandi ini bukan tidak dipikirkan dan direncanakan dengan berbagai pertimbangan yang menurut mereka sudah valid dan efektif untuk meyakinkan bahwa merekalah sang pemenang Pilpres 2019.

Hemat saya, keputusan melakukan deklarasi hari ini tak bisa dilepaskan dari beberapa hal seperti rencana-rencana gelar “people power”, sujud syukur massal di Masjid Istiqlal, dan tudingan adanya berbagai kecurangan dalam survei dan “quick counts” yang dilakukan berbagai lembaga survei. Deklarasi ini, sebagai sebuah manuver politik, merupakan sebuah “fait accompli” politik dan pengkondisian untuk manuver-manuver lanjutan sebelum dan pasca-pengumuman resmi KPU nanti.

Secara reflektif saya lantas berpikir: Akankah di Indonesia nanti ada Presiden “kembar” hasil Pilpres 2019? Sebab saya jadi diingatkan pada peristiwa pertarungan elite politik di Venezuela beberapa waktu lalu, ketika Presiden Nicolas Maduro ditandingi dan di-“gantikan” oleh Juan Guiado yang mengklaim sebagai Presiden yang legitimate secara politik! Ujung-ujungnya krisis politik pun mendera republik yang pernah dipimpin Hugo Chavez tersebut. Perebutan kekuasaan itu makin susah diselesaikan karena negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan sekutunya mendukung Juan Guiado sedangkan Rusia dan beberapa negara lain di Amerika Latin lebih mendukung Nicolas Maduro.

Tapi saya berdoa dan berharap, semoga Indonesia pasca-Pilpres 2019 tak mengalami krisis politik. Juga tak ada konspirasi “operation Venezuela” yang diorkestrasi kekuatan luar. Saya berharap ini hanyalah letupan ketidakpuasan dari pihak-pihak atau pribadi-pribadi yang saling bersaing ketat, ditambah dengan kekurangsabaran mengikuti proses politik demokratis.

Sebab seharusnya kita sebagai bangsa layak bangga dengan proses Pilpres yang bisa dikatakan paling akbar di dunia dan berlangsung demokratis, jujur, adil, bebas, dan rahasia. Karena kemampuan inilah Indonesia mampu menjadi salah satu ikon berdemokrasi saat ini dan ummat manusia di seluruh dunia menjadi saksinya!

Jadi mengapa harus ada “Deklarasi kepagian” ini? Wallahua’lam. (*)