Jalur sepeda

Kastara.ID, Jakarta — Semua kota besar yang maju dan modern di berbagai belahan dunia, tidak hanya di Eropa, sistem angkutan umum massalnya sudah terintegrasi dengan non motorized transportation (NMT). Dalam konteks Jakarta, sistem transportasi publik harus dilihat dan dipraktikkan secara utuh. Bukan hanya sekadar sudah naik KRL, MRT, LRT, atau BRT seperti Transjakarta, tetapi di dalamnya terintegrasi dengan NMT baik tahapan first mile (dari titik awal berangkat menuju angkutan umum massal) ataupun last mile (perpindahan dari angkutan umum massal menuju titik terakhir tujuan) dengan berjalan kaki atau bersepeda. Itulah kenapa pembangunan trotoar dan jalur sepeda harus terus menjadi prioritas siapapun yang memimpin Jakarta.

Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris mengungkapkan, saat ini, banyak kota-kota besar di dunia sudah menikmati hasil perjuangan mereka selama puluhan tahun yang penuh tantangan dan penolakan yaitu menjadikan sepeda sebagai pilihan utama dan transportasi pelengkap dari dan menuju simpul-simpul transportasi publik.

“Pada 1970-an, Amsterdam sempat menjadi kota kurang layak huni karena polusi udara akut, kemacetan, dan tingginya kecelakaan lalu lintas akibat masif penggunaan mobil yang kesemuanya itu menurunkan kualitas hidup warganya. Tapi sejak beberapa dekade lalu semua mimpi buruk itu berakhir. Mereka memilih untuk menjadikan sepeda sebagai transportasi utama walau harus berjuang puluhan tahun yang awal-awalnya mendapat penolakan karena dianggap program yang tidak berguna,” ujar Fahira Idris di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, sebagaimana disampaikannya kepada Kastara.ID (17/4).

Sekarang, lanjutnya, sekitar 60 persen dari seluruh perjalanan di Amsterdam dilakukan dengan sepeda dan mereka sudah lepas dari persoalan pelik khas kota-kota besar yaitu kemacetan dan polusi udara seperti yang saat ini terjadi di Jakarta.

“Oleh karena itu, saat ini, Jakarta tidak punya pilihan lain selain menjadi kota ramah sepeda. Karena jika tidak, Jakarta tidak akan menjadi kota berketahanan di masa depan dan ini mengkhawatirkan,” tukas Fahira Idris.

Menurutnya, indeks kemacetan di Jakarta saat ini saat ini sudah masuk kategori mengkhawatirkan karena naik ke peringkat 29 kota termacet di dunia (sebelumnya peringkat ke-46) berdasarkan riset TomTom International. Kemacetan ini tentunya juga berpengaruh besar terhadap rendahnya kualitas udara di Jakarta. Oleh karena itu, kebijakan penambahan akses jalan bagi pengendara kendaraan motor untuk mengurai kemacetan bukan sebuah solusi yang tepat.

“Saat ini, kemajuan dan keadaban sebuah kota di dunia bukan dilihat dari banyaknya kendaraan pribadi yang melintas di jalanan kota tersebut, tetapi dilihat dari semaju dan semodern apa moda transportasi publik dan fasilitas serta infrastruktur bagi pejalan kaki dan pesepeda di kota itu. Ini adalah diskursus umum jika kita bicara soal visi kota-kota besar di dunia, jadi bukan hal yang baru juga,” pungkas Fahira Idris. (dwi)