Persatuan Indonesia

Oleh: Jaya Suprana

SEBAGAI rakyat jelata yang bukan hanya awam saja namun bahkan naif politik, saya cukup sadar-diri untuk tidak berani mengungkap opini politik apalagi melibatkan diri ke dalam kemelut deru campur debu berpercik keringat, air mata dan darah yang sedang menggelora di panggung politik perebutan kekuasaan di Tanah Air Udara tercinta saya ini.

Bahagia

Namun selama merasa bahagia secara konstitusional belum dilarang, saya memberanikan diri untuk merasa bahagia atas perkembangan kemelut politik akhir-akhir ini di mana para tokoh pemimpin bangsa seperti Joko Widodo, Megawati Soekarnoputeri, Susilo Bambang Yudhoyono, Surya Paloh, Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, dan lain-lain berkenan saling berjumpa untuk bersilaturahmi setelah cukup lama tidak bersilaturahmi akibat sibuk memperebutkan tahta kekuasaan melalui pemilu dan pilpres yang telah mengorbankan enerji lahir-batin, dana bahkan nyawa sesama rakyat Indonesia.

Saya memberanikan diri untuk merasa bahagia sebab ternyata para pemimpin bangsa Indonesia menyadari bahwa bukan tanpa makna sila Persatuan Indonesia diletakkan tepat pada posisi di tengah-tengah lima sila Pancasila. Berarti Persatuan Indonesia merupakan pusat alias poros segenap gerak sentrifugal yang mempersatukan negara, bangsa, dan rakyat Indonesia. Persatuan Indonesia merupakan Tunggal Ika dari Bhinneka.

Tanpa Persatuan Indonesia selaras makna sukma peribahasa Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh, mustahil kita mampu bersama membangun negara, bangsa, dan rakyat Indonesia demi meraih cita-cita terluhur Nusantara yaitu masyarakat adil dan makmur yang hidup bersama di sebuah negara gemah ripah loh jinawi, tata tenteram kerta raharja.

Demokrasi

Silakan cemooh saya tidak paham makna demokrasi, namun saya tetap memberanikan diri merasa bahagia melihat para pemimpin bangsa berkenan tidak saling bermusuhan meski saling berbeda pendapat agar bisa duduk bersama bermusyawarah-mufakat memikirkan nasib rakyat Indonesia terutama yang belum menikmati nikmatnya kemerdekaan bangsa Indonesia dapat memperoleh masa depan yang lebih baik.

Silakan cemooh saya naïf, sebab saya memang naif dalam meyakini Persatuan Indonesia jauh lebih positif dan konstruktif ketimbang Perpecah-belahan Indonesia apalagi sekadar atas nama demokrasi atau asi-asi apa pun.

Demokrasi bukan tujuan namun sekadar sebuah istilah bagi sebuah alat politik untuk menyejahterakan bukan penguasa namun rakyat.

Silakan sebut saya cebong, kampret, kadal gurun, yang bagi saya merupakan pujian sebab para cebong, kampret, kadal gurun adalah sesama mahluk hidup ciptaan Yang Maha Kuasa yang masing-masing memiliki kelebihan tersendiri.

Saya tidak memiliki pamrih kekuasaan apalagi jabatan apapun, maka bukan berniat menjilat namun sekadar merasa bahagia bahwa para pemimpin bangsa Indonesia berkenan tidak saling bermusuhan.

Saya merasa bahagia bahwa para pemimpin bangsa berupaya saling mengerti, saling menghargai dan saling menghormati demi menjalin Persatuan Indonesia untuk bersama mengabdikan diri, bukan bagi kepentingan parpol atau kelompok apalagi diri sendiri, namun bagi kepentingan rakyat terutama yang belum menikmati nikmatnya kemerdekaan bangsa, negara dan rakyat Indonesia.

Merdeka! (*)

* Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan yang sedang mempelajari politik kemanusiaan sebagai mahkota segenap apa yang disebut sebagai politik.