Overlord

Kastara.id, Jakarta – Film-film bertema Nazi kerap mengesankan aroma rumah mayat lewat tampilan kamp, lorong-lorong, kamar gas, tumpukan mayat, hingga prajurit Nazi Jerman yang jeli mencium kesalahan dan dengan keji memberi hukuman. Namun di Overlord tidak hanya menampilkan kengerian seperti itu. Suguhan science fictionactionhorrorgore, hingga patriotisme melebur jadi satu menjadikannya tontonan segar, terutama jika yang Anda incar adalah pompa adrenalin berupa darah, kekerasan, ledakan, kemenangan epik.

Dibesut oleh Julius Avery (Son of a Gun) dan diproduseri JJ Abrams. Sejak diumumkan tahun lalu, banyak pihak menganggap ini adalah stand alone dari waralaba Cloverfield. Nyatanya, Overlord mampu menyajikan action-horror yang tidak kalah menarik dengan elemen B–movies (meskipun terbilang terlalu serius untuk disebut B-Movie).

D-Day atau Invasi Normandia sendiri adalah peristiwa paling bersejarah yang dijadikan background-nya. Ratusan pesawat di udara dalam misi menghancurkan rezim Nazi ditampilkan begitu menakjubkan di awal film dengan tone hitam putih seperti foto-foto dari era itu.

Dari salah satu pesawat memperlihatkan kecemasan para prajurit muda menjelang invasi. Sebagaimana halnya di film-film perang, kelakar kasar prajurit militer Amerika dijadikan pemanasan untuk memperkenalkan beberapa tokoh, di antaranya korporal Ford (Wyatt Russell) yang memiliki reputasi meyakinkan, Boyce (Jovan Adepo), tentara junior, belum berpengalaman, dan si fotografer Chase (Iain De Caestecker) dengan tingkah konyolnya.

Dibuat dengan budget terbatas, Overlord mengunggulkan plot, karakter, dan kejutan-kejutan vulgar tak terduga. Paska pesawat sekutu jatuh dibom Jerman, audiens disuguhkan pemandangan mayat para prajurit yang tewas tergantung di atas pohon bersama parasut mereka, (level ngeri belum ada apa-apanya dibandingkan pemandangan gruesome di lab Nazi). Harapan mengalahkan Nazi mengecil di titik ini, tantangannya sangat berat; menghancurkan menara pemancar radio yang sekaligus markas Nazi. Sementara tentara yang berhasil survive hanya tersisa lima orang, jumlah mereka pun harus berkurang saat seorang tentara meledak terkena ranjau. Empat tentara sekutu berbanding ratusan tentara Nazi adalah tugas mustahil, namun jagoan kita, korporal Ford tetap optimis dengan misi ini.

Kurang lebih 30 menit pertama terasa seperti film action-war biasa. Misteri mulai terkuak saat Boyce menyusup masuk ke dalam markas dan menyaksikan (potongan) tubuh-tubuh manusia dijadikan objek percobaan biologis di lab Nazi. Faktanya, memang bukan rahasia bahwa Nazi melakukan praktik biadab ini ke beberapa tawanan mereka, sekilas film ini menampilkan real life horror tersebut. Dan akhirnya kotak misteri terungkap saat Boyce menyuntikkan cairan ter misterius yang menjadi kunci keseluruhan film.

Berbeda dari umumnya, zombie di sini lebih menyerupai monster yang menyerang mangsanya dengan brutal. Ia dibuat sangat kuat dan anti peluru sehingga lebih sulit dibunuh kecuali dengan granat dan semburan api.

Sepertinya kurang adil jika hanya menyebut Boyce sebagai tokoh sentral, karena setiap tokoh memiliki peran uniknya yang menonjol, termasuk Dr. Wafner (Pilou Asbæk) sebagai antagonis utama. Sebagaimana aktingnya memerankan Euron Greyjoy (GOT), Asbæk terbilang cukup berhasil menampilkan manifestasi iblis dalam dirinya.

Wyatt Russel, pemeran korporal Ford tidak kalah bad-ass dibandingkan Kurt Russell tanpa harus menjadi kopian ayahnya. Karakternya yang tegaan adalah kebalikan dari Boyce yang selalu bereaksi dari hati. Di sepanjang film kedua orang ini saling bertentangan dalam mengambil keputusan namun berujung epik di akhir cerita. Tokoh-tokoh lain tak kalah memberi kontribusi, bahkan Paul (Gianny Taufer) menjadi pemanis di dunia brutal ini.

Overall, film ini menawarkan entertainment yang dapat dinikmati, namun kurang memaksimalkan beberapa elemen yang cukup memorable untuk dikenang. Mungkin karena story dan penokohannya sudah sering ditemui di film bertema perang ataupun zombie, bisa juga karena hanya menawarkan pompa adrenalin terus-menerus. Untuk urusan kaget, menegangkan, menjijikan, brutal, dan sejenisnya, semua cukup terpenuhi.

Tinggal penonton yang memberi kesimpulannya masing-masing. (cinemagz/nad)