Oleh: Erros Djarot

MENYAKSIKAN semakin rendahnya mutu kampanye pemilu-pilpres belakangan ini, rasanya perlu diingatkan kepada para elite partai dan para pemimpin, termasuk para capres dan cawapres kita, bahwa pemilu hanya digelar 5 tahun sekali. Sementara Indonesia, ia harus selalu digelar dan selalu ada selamanya.

Agak memprihatinkan bila untuk keperluan yang lima tahun sekali, Indonesia dibuat sedemikian rupa hingga berpotensi tidak selamanya akan ada. Suatu hal yang bisa menjadi keniscayaan bila perilaku para politisi dan pemimpin kita memilih untuk membuat rakyat menjadi dua kubu yang saling berhadapan dan bermusuhan secara permanen.

Ujaran kebencian dan semangat perseteruan yang dilontarkan para elite politik, telah berhasil memisahkan rakyat ke dalam kelompok-kelompok pendukung fanatik yang setia buta kepada capres dan cawapres pilihannya. Hal mana merupakan benih sangat buruk yang berpotensi mengancam tegaknya sila ketiga dari Pancasila. Suasana yang memprihatinkan ini sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di kota-kota besar di negeri ini.

Masih bersyukur ‘virus politik’ yang sangat berbahaya ini belum berhasil menembus benteng pertahanan budaya masyarakat yang hidup di desa-desa di pelosok Tanah Air. Terakhir kunjungan saya ke beberapa desa di Jawa barat dan Jawa tengah, setidaknya meyakinkan saya bahwa masyarakat desa masih hidup kompak, dan bangga dalam melestarikan nilai-nilai lokal jenius yang mereka punya dan jadikan penuntun kehidupan. Sehingga virus Demokrasi Liberal pun layu dan mati sebelum berkembang ketika diperhadapkan dengan nilai-nilai lokal jenius yang mereka pegang teguh.

Yang saya anggap sebuah keanehan adalah kenyataan bahwa pada komunitas masyarakat di kota besar yang relatif lebih mengenyam pendidikan formal secara baik dan bahkan tinggi, justru sangat rentan mudah terlumpuhkan daya tahannya terhadap virus politik (jahat) Demokrasi Liberal ini. Begitu luar biasanya menyaksikan bagaimana akal sehat tak lagi mendapat tempat yang terhormat dalam kehidupan masyarakat di kota-kota besar selama berlangsungnya kampanye politik Pemilu Pileg-Pilpres 2019.

Belum lagi genap tiga bulan berjalan, gelaran kampanye telah berubah menjadi ajang pembodohan dan pendangkalan masyarakat. Bahkan terjadi pembelokan arah dan capaian utama dari maksud dan tujuan diselenggarakannya pemilu itu sendiri. Karena dengan kian meluasnya pembiakan binatang politik dalam dunia politik kita, telah menjadikan negeri ini berjalan tanpa tersentuh oleh pemikiran dan sikap kenegarawanan dari para politisi kita. Dengan kata lain, binatang politik kian banyak dan tumbuh menjamur; sementara negarawan lenyap ditelan hiruk pikuk perdebatan dan lontaran kebencian yang tak bermutu dari para binatang politik mendominasi panggung kampanya politik belakangan ini.

Pola bermain dan permainan politik yang dilandasi dan berdasar pada acuan zero sum game, tiji tibeh, elo atau gue yang mati dan sejenisnya, begitu terasa dipertunjukkan oleh dua kubu pendukung capres-cawapres. Sehingga sering terasakan mereka seakan tak peduli Indonesia terbelah dan pecah berkeping, karena yang penting ‘jago gue’ berhasil memenangkan pemilu. Tanpa berpikir panjang bahwa kemenangan ‘jagoannya’ akan sia-sia dan bahkan menjadi malapetaka ketika kemenangan yang diperoleh harus dibayar dengan  perpecahan rakyatnya.

Menyaksikan adegan demi adegan akting para politisi kita di atas panggung pemilu kali ini, agaknya tidak berlebihan bila dirasakan masih perlu diingatkan bahwa pemilu digelar 5 tahun sekali; sedangkan Indonesia digelar setiap hari harus ada dan harus tetap ada selamanya. Sehingga setiap perilaku politik yang tidak menjamin dan bahkan mengancam tegaknya motto: Indonesia harus ada dan harus tetap ada selamanya, harus segera dihentikan.

Oleh karenanya, berperang malawan ‘virus jahat’ yang bernama ‘Demokrasi Liberal’ merupakan keharusan yang bersifat mendesak. Membiarkan Indonesia hidup dalam cengkraman demokrasi yang (hyper) liberal seperti sekarang ini, merupakan jaminan akan pecahnya Indonesia menjadi berkeping sebagai masalah tinggal tunggu waktu.

Sekali lagi, inget ya kawan, pemilu insha Allah selalu akan digelar setiap lima tahun sekali; tapi Indonesia harus digelar setiap hari…setiap hari ia harus ada, dan harus tetap ada, selamanya! (*)

*Budayawan