Teologi Politik Radikal

Oleh: Azwar Abidin (IAIN Kendari)

MASYARAKAT kita terlalu sibuk dengan label, mempertentangkan simbol sambil menapaki jalan kehancuran hidup bernegara kita sendiri. Di satu sisi, penguasa sibuk mengurai angka dan mengemis simpati. Di sisi satu lagi, rakyat terus menggantungkan diri dan asik berspekulasi.

Alam yang kita tinggali, di sisi jauh pikiran ini, semakin rusak dan semakin tak layak huni. Kenyataan yang kita coba pungkiri akibat ulah kita sendiri. Baik kanan maupun kiri, gerakan pembebasan belum memberi solusi.

Generasi ini yang seharusnya mewujudkan bentuk politiknya sendiri. Sebab mereka belum bebas namun harus tetap berusaha bebas. Gelora perjuangan untuk kehidupan sosial yang lebih baik, tidak pernah padam dan terus didengungkan oleh mereka yang cukup peduli mengukir sejarahnya. Demikian pula dengan Novak, yang lewat buku Teologi Politik Radikal, mengajak siapa pun yang peduli untuk mendengar untuk merenungkan khittah perjuangan yang tak pernah menemui akhir ini.

Buku ini dibuka dengan menyuguhkan tatanan lama yang seharusnya telah usang. Infrastruktur megah dan seluruh artefak teknologis menjadi kuburan kreatifitas pemaknaan hidup manusia. Novak menyerukan pencairan nilai-nilai kemanusiaan menembus dinding rumah ibadah yang terlampau suci. Pemuka agama mesti berhenti menjadi agen reformasi sosial-politik sekuler. Agama mesti meredefinisi nilai-nilai yang berlaku. Sebab hari ini rumusannya bukan lagi apa yang bisa manusia ciptakan tapi lebih ke haruskah hal itu dilakukan?

Tatanan lama dianggap using. Sebab, ia telah menekan harapan dari optimisme ke keputusasaan, kemurkaan yang paradoksal dalam praktiknya, pemberhalaan liberalisme korporat, serta pengembangan humanisme ke arah industrialisasi kemampuan teknis, alih-alih pengembangan spiritual batin manusia. Semua tak lebih dari tatapan kosong yang melucuti kapasitas pemaknaan akan hidup.

Bagian selanjutnya, Novak mengidentifikasi bahwa generasi sekarang terkungkung oleh identitas warisan. Identitas ini menumbuhkan rasa bersalah yang bahkan tidak pernah diinginkan secara sadar. Doktrin institusi sosial hanya berkutat pada kondisi ideal bagaimana seseorang merangkul kematian namun, tidak mengajarkan bagaimana hidup dijalani.

Pencarian identitas diri selalu mengarah ke penemuan komunitas. Pencarian individual inilah yang secara akumulatif menentukan perkembangan suatu komunitas. Bukan sebaliknya, di mana komunitas memaksakan pandangan ideal yang mau tidak mau harus diadopsi oleh tiap anggota.

Komunitas sejati didukung oleh, pertama, individu dengan kemandirian dasar yang memenuhi tuntutan tujuan pribadinya sendiri. Kedua, ia mesti menjamin komunikasi antar anggota di mana kebebasan berpendapat dilindungi. Ketiga, komunitas itu menganut diferensiasi aturan dan jabatan yang didasarkan pada pemerataan dan keseimbangan. Kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat ditunjang oleh rekonsiliasi identitas privat antar individunya.

Selanjutnya, Novak mengajak kaum radikal yang merindukan revolusi sosial untuk arif dalam tindakan. Sejenak, mereka mesti berhenti dan menghentikan gerak sistem yang merusak komunitasnya. Mereka diminta menata isi dan logika dari ideologi yang mereka percayai sebelum bertindak. Sekaligus menyadari bahwa ideologi tersebut tidak akan diterima jika tidak berkaitan dengan tindakan praktis.

Selama ini, pergerakan kaum revolusioner tidak punya program yang jelas. Sering bertindak mengatasnamakan universalitas tapi malah mengusung kepentingan kelompok tertentu saja. Dua hal tersebut menunjukkan ketidakmampuan mereka menjalin komunikasi secara terbuka dengan kelompok lain.

Bagi Novak, memulai suatu gerakan dapat dimaksimalkan dengan dua cara. Pertama, ajukan pertanyaan tentang apa basis pergerakannya, apa tujuannya, apa dasar potensi sumber daya manusianya, dan apa saja program yang ditawarkan. Kedua, setelah pertanyaan tersebut terjawab dan berujung penilaian, tiap aktor mesti melibatkan diri untuk merumuskan lahirnya putusan tentang apa yang selanjutnya harus dikerjakan.

Kaum revolusioner mesti memahami dasar dari nilai-nilai yang berlaku di komunitas masyarakatnya. Mereka mesti memahami bahwa kultur tercipta oleh sematan makna. Artefak kultur maupun ritual yang berlaku merupakan perwujudan dari aktivitas pemaknaan secara aktif berkesinambungan. Jangan terjerumus pada kesalahan pelopor revolusinya pada umumnya yang pembacaannya terhadap kultur yang ada malah menenggelamkannya pada jejak sejarah yang menghidupkan etnosentrisme. Hal ini berpotensi membangkitkan emosi; menyulut kampanye unjuk kekuatan superioritas golongan.

Revolusi merupakan padanan politis dari pergeseran moral. Ia mesti berhasil mengevaluasi nilai-nilai dasar dari sebuah doktrin yang mengharuskan perintah-perintah tertentu dilaksanakan. Di sinilah benturan revolusi ditemui; seperti pada kondisi yang tidak dapat dihindari dari perubahan radikal semisal pertumpahan darah. Apakah membunuh manusia dengan alasan kemanusiaan dapat dibenarkan?

Novak menitikberatkan cita-cita perjuangan revolusi tetap di tangan para mahasiswa. Sebab mereka yang geraknya semakin kaku dibatasi sistem. Mereka juga yang hidup dalam standar-standar yang definisinya telah terberi. Bahkan terus dipojokkan ke ranah pragmatis dengan dalih hukum dan ketertiban. Merekalah yang diharapkan untuk mengutilisasi demokrasi demi mengubah cara pikir masyarakat. Mahasiswa pula yang berdiri di atas jembatan yang dipatungi kampus dan korporasi. Lawan utama mereka adalah informasi yang dicitrakan. Yakni nilai-nilai yang disematkan secara simbolis yang didominasi media agen korporasi.

Novak mengakhiri khutbahnya dengan memberikan penekanan bahwa revolusi yang baik adalah revolusi yang berpihak pada bumi. Alur sejarah sudah saatnya berorientasi harmonisasi dengan lingkungan dengan penemuan energi bersih terbarukan. Alam sebagai subjek perenungan dan kekaguman sebagai kompas moral. Tuhan mungkin banyak dihujat, namun ketakjuban akan ciptaan-NYA tak mungkin bisa disangkal. Keimanan yang baik, bagi Novak, adalah yang memperjuangkan keadilan sosial di atas kesalehan relijius. (*)