Debat Cawapres
Oleh: Erros Djarot

CUKUP lama dan tak sabar saya menunggu gelaran acara Debat Cawapres. Selama lebih dari dua minggu berbagai skenario adegan debat silih berganti tampil di benak saya. Harapan saya debat kali ketiga yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum akan menyuguhkan sebuah gelaran debat yang dikemas berdasarkan referensi dan pengalaman debat pertama dan kedua. Artinya debat akan benar-benar ditampilkan lebih memenuhi harapan; di mana para cawapres benar-benar saling berdebat memperdebatkan perbedaan sudut pandang atau program yang dirasa kurang pas di mata maupun pikiran lawan debat.

Ternyata perhelatan dengan nama Debat Cawapres, digelar dengan penuh hikmat, tertib, dan mengharukan. Karena hingga akhir perhelatan, Debat Cawapres ternyata hanyalah sebuah nama. Yang terjadi, serupa walau tak sama, tak jauh dari suasana acara Kuis Cerdas Tangkas atau Cerdas Cermat, walau sedikit lebih berkualitas, berbobot, dan berwibawa. Tidak ada perdebatan. Yang terlihat di atas panggung hanyalah tampilan dua sosok manusia dengan perbedaan umur yang mencolok; sehingga kesantunan seorang anak yang hormat kepada bapak atau kakeknya, begitu menonjol.

Ketika acara debat dimulai, seorang anak yang lebih tangkas dan terkesan cerdas (Sandi Uno) menjawab pertanyaan (baca: kuis) dari panelis dengan lancar, enerjik, dan menebar kesegaran. Pemandangan dari tampilannya enak dilihat oleh mata milenial yang lebih akrab menangkap sesuatu yang dekat dengan idiom ‘Kece dan Gue banget ‘. Sementara di sisi lain, tampil seorang kiai dengan kewibawaan dan kearifannya asyik menceramahi para santrinya dengan berbagai arahan yang dibarengi sejumlah kalimat atau istilah dalam bahasa Arab, sehingga benar-benar meyakinkan bahwa yang tengah berbicara adalah seorang ulama berpengetahuan luas. Buat para santri yang lama mondok di sejumlah pesantren, bisa jadi tampilan yang sejuk dan penuh fatwa ini lebih menyejukkan mata dan pikiran mereka.

Permasalahannya, debat ini untuk apa diadakan? Salah satu targetnya adalah memperkenalkan sosok cawapres yang dalam konteks pilpres kali ini menjadi sangat signifikan. Menjadi strategis karena kedua capres yang saling berhadapan telah saling berhadapan bukan untuk kali ini saja. Sehingga rakyat sudah hafal betul siapa dan bagaimana mereka. Para pendukungnya pun sudah terpatri dalam satu lingkaran ‘like’ dan ‘dislike’ yang sudah sangat subyektif. Sehingga para cawapres yang diasumsikan sebagai mitra kerja sehari-hari di lembaga kepresidenan, menjadi sorotan dan mengundang rasa ingin tahu publik akan kapasitas mereka. Semata karena jabatan wapres menjadi strategis di mata pemilih dalam kontestasi pilpres kali ini.

Selain itu secara konstitusi figur cawapres adalah sosok yang akan secara otomatis menduduki jabatan presiden bila presiden berhalangan tetap. Setidaknya saat presiden berpergian ke luar negeri dengan waktu yang cukup lama, wapreslah yang akan bertindak menjalankan tugas sebagai presiden ad interim. Hal inilah salah satu sebab yang membuat mengapa perbedaan umur antara dua kandidat cawapres yang sangat jauh, menjadi sorotan penting.

Apalagi bila mengingat, umur seseorang hanya Tuhan yang tahu. Bila sesuatu terjadi pada Jokowi, maka Kiai Ma’ruf Amin yang akan tampil sebagai Presiden Republik Indonesia. Sebaliknya bila sesuatu terjadi pada Prabowo, Sandi akan tampil menggantikannya. Tentu hal ini sangat tidak diharapkan. Tapi lagi-lagi, kita masih sangat percaya bahwa manusia punya mau, tetap Tuhan punya kuasa. Karena itulah tampilan dan kondisi fisik para kandidat cawapres kali ini menjadi sorotan dan perhatian publik pemilih. Bahkan dikhawatirkan tampilan inilah yang lebih dominan mempengaruhi ‘selera’ pemilih untuk menjatuhkan pilihannya.

Salah satu yang meyakinkan dari tampilan Ma’ruf Amin, rata-rata publik terkesima akan ketahanan fisiknya untuk mengikuti acara dua jam debat dengan tetap tegar fisik dan pikirannya. Sementara tampilan Sandi cukup memenuhi selera kaum muda dan emak-emak muda berikut para pemilih pemula yang cenderung menempatkan tampilan fisik yang enak dilihat dan menambah semangat, menjadi hal yang sangat penting kalau tidak utama. Kriteria ini bisa jadi merupakan rujukan umum dari kaum muda milenial yang easy going dan yang lebih merasa ‘klik’ dengan jargon…’Yang Penting Asyiik!’

Apakah Debat Cawapres ini akan mampu menggoyahkan ketetapan hati para pemilih yang selama dua kali Debat Capres sebelumnya telah menentukan pilihannya? Sangat diragukan! Apalagi terhadap kelompok yang kemudian dikenal sebagai kubu ‘Kampret’ dan ‘Cebong’. Sangat mustahil kefanatikan mereka akan tergerus dengan gelaran Debat Cawapres yang ternyata hanya lebih setingkat berkualitas, berbobot dan berwibawa dari acara Kuis Cerdas Cermat-Cerdas Tangkas.

Dengan kenyataan ini gelaran Debat Cawapres lebih berdampak atau tembakan lebih ditujukan pada kelompok para pemegang kartu hak pilih yang belum menentukan pilihannya. Apalagi berdasarkan hasil survei konon masih menyisakan jumlah yang cukup besar, sekitar 30 persen mendekati ke arah 40 persen. Dalam angka ini, sebagian besar dipastikan adalah pemilih pemula (kaum milenial) dan kaum dewasa yang masih ragu, bimbang, tidak percaya, atau menunggu sampai detik jelang hari H siapa di antara dua kandidat yang lebih mereka percaya. Sepertinya mereka yang tergolong dalam kriteria terakhir, jumlahnya hanya sekitar 30 persen dari kelompok pemilih yang belum menentukan pilihannya. Selebihnya yang 70 persen agaknya lebih didominasi oleh kaum muda milenial yang terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok easy going dan kelompok kaum muda yang gemar berpikir dan ingin tahu untuk lebih maju. Yang persentasenya juga sekitar 70:30, tentu lebih banyak kelompok yang cenderung easy going.

Dalam komposisi yang demikian, agaknya Prabowo sangat diuntungkan dengan kehadiran Sandi. Sementara Jokowi yang didukung oleh sosok seorang kiai yang arif, matang dan berumur, harus lebih meningkatkan kemampuan untuk menggaet dan merangsek ke wilayah pemilih pemula, remaja, kaum muda milenial yang kebanyakan lebih nyaman bersandar pada jargon ‘Yang Penting Asyiik!’. Karena dari tampilan semalam, sangat kuat kecenderungan bahwa kaum ‘Yang Penting Asyiik’ lebih terwakili oleh penampilan Sandi yang uno!

Mengapa saya tidak tertarik untuk membahas muatan dan lontaran yang ‘diperdebatkan’? Pertama, karena malam itu memang tidak ada perdebatan. Suguhan sebatas tanya jawab yang masing-masing asyik dengan jawabannya sendiri. Seperti Guru bertanya, murid anomalis menjawab, itu saja! Yang kedua, karena suasana debat tak nyambung, maka lebih pas bila digambarkan sebagai pentas monolog yang biasa-biasa saja. Terjadi dialog berbobot/intelektual pun tidak, apalagi debat. Celakanya, yang lebih seru berdebat justru para komentator dari dua kubu berbeda pasca Debat Cawapres. Tapi ya sudahlah, setidaknya masyarakat semakin mengenal siapa cawapres dari dua kubu yang berbeda ini.

Yang penting, catatan pribadi dari saya; dari kualitas debat yang digelar selama ini, terlalu sangat mahal sekali bila harus dibayar dengan terbelahnya masyarakat bangsa ke dalam dua kubu rakyat yang saling berhadapan dan bermusuhan secara permanen. Sungguh menyedihkan bila terus berlarut dan berlanjut! (*)

*Budayawan