Oleh: Al-Zastrouw

Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh Wisanggeni, ksatria sakti mandraguna, putra Arjuna yang berobsesi menegakkan kebenaran dan keadilan hingga harus melawan berbagai macam rintangan dan hambatan. Mengobrak abrik tatanan “Jonggring Saloka” yang menjadi tempat suci para Dewa bersemayam. Wisanggeni, tentu saja, menantang semua ksatria yang dianggap durjana meskipun berpenampilan bijak dan berwibawa.

Sikap Wisanggeni yang tanpa kompromi ini ternyata malah mengkhawatirkan para Dewa di kahyangan Jonggring Saloka. Mengapa demikian? Menurut para analis di Jonggring Saloka, bukan saja sikap si Wisang tersebut bisa memporakporandakan tatanan dunia, tetapi juga (dan ini lebih serius) bisa membatalkan skenario perang Bharatayudha yang sudah menjadi garis takdir kehidupan. Sikap putera Arjuna yang begitu tegas tanpa kompromi, dalam forecasting jangka panjang para Dewa, malah akan membuat hilangnya kejahatan sebelum Bharatayuda terjadi.

Agar garis takdir kehidupan berjalan sebagaimana mestinya, Bathara Krishna diminta berdialog dengan Wisanggeni untuk meminta kesediaannya mengundurkan diri dari dunia. Dengan sikap ksatria yang penuh kearifan, Wisanggeni mau memahami dan menerima wejangan Krishna dan bersedia “membiarkan” kejahatan dan kebenaran bertarung sesuai garis takdirnya. Konsekuensinya, Wisanggeni dengan sukarela meninggalkan dunia dengan cara menjilat bekas kakinya. Wisanggeni pun pralaya (gugur) atas kesadaran sendiri, mengorbankan diri demi kelangsungan kehidupan.

Dalam konteks sejarah Islam Nusantara, sikap Krishna yang meminta kerelaan wisanggeni membiarkan alam berjalan sesuai takdirnya, memiliki kemiripan dengan sikap Walisongo ketika meminta kerelaan Syech Siti Jenar mengorbankan diri demi berjalannya takdir kehidupan secara normal.

Dikisahkan bahwa Walisongo sangat memahami komitmen Syech Siti Jenar dalam menegakkan tauhid dan kebenaran. Tapi cara-catra yang ditempuh Siti Jenar dianggap bisa merusak tatanan dan garis takdir kehidupan. Dan Siti Jenar pun memahami jalan pikiran Walisongo dalam mengemban tugas menata kehidupan sebagaimana Wisanggeni memahami petuah Bathara Kreshna.

Demikian juga yang terjadi pada Pangeran Diponegoro. Ketika berangkat untuk berunding bukannya beliau tidak tahu bahwa itu adalah jebakan kompeni untuk mencelakakan dirinya. Sebenarnya beliau punya kesempatan untuk menghindar dengan tidak mendatangi perundingan tersebut. Tapi hal itu tidak beliau lakukan sebagai sebuah pilihan dan upaya menjemput takdir dan garis kehidupan.

Demi berlakunya hukum kehidupan, kadang-kadang diperlukan pengorbanan diri para bijak seperti yang dialami oleh Syech Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Diponegoro, seperti yang dilakukan oleh tokoh dalam cerita wayang Wisanggeni. Mereka rela mengorbankan diri untuk dinista kemudian dikubur ramai-ramai demi jalannya hukum kehidupan. Dengan sirnanya orang-orang seperti mereka, kehidupan berjalan normal, kebenaran dan kesalahan, kezaliman dan keadilan kembali bertarung menempuh takdirnya karena tidak dihalangi oleh para pemberani yang teguh pada prinsip.

Beginilah para leluhur negeri ini menjaga dan memelihara kehidupan bangsa ini yang penuh dengan perbedaan yang beragam. Mereka mengambil kisah-kisah hikmah yang penuh kearifan sehingga rela mengalah demi kepentingan yang lebih besar dan kelangsungan kehidupan. Tidak mabuk dan jemawa dalam kemenangan dan tidak marah atau sedih menerima kekalahan. Beginilah sikap para ksatria sejati. Saatnya bagi kita belajar dari pengorbanan mereka. (*)