Kastara.id, Jakarta – RUU Penyelenggaraan Pemerintahan Wilayah Kepulauan diperlukan karena UU yang ada saat ini belum secara spesifik mengatur tentang prioritas pembangunan di wilayah kepulauan. Dalam rangka mendapatkan masukan terkait RUU ini, Komite I DPD RI menggagas Forum Group Discussion (FGD) dengan sejumlah pihak antara lain Deputi Pengembangan Regional Kementerian PPN/ BAPENAS Arifin Rudiyanto, Perwakilan Dirjen Otonom Daerah Kemendagri, perwakilan pemerintah Provinsi Maluku, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan para bupati dari provinsi kepulauan di Indonesia.

Ketua Komite I DPD RI Akhmad Muqowam menjelaskan bahwa pembahasan pemerintahan daerah kepulauan ini sudah dibahas pada UU 23, namun belum spesifik mengatur tentang prioritas pembangunan di provinsi kepulauan.

“Formula dana untuk provinsi kepulauan itu masih berbasis pada jumlah populasi di daerah, maka akan lebih sedikit dan semakin lama pembangunan di daerah kepulauan. Seperti halnya kepulauan, pemerintah juga sudah memiliki definisi desa dalam UU 5,32, 23, 22, 59, dan 74 itu masih dinamis definisinya. Maka hal inilah yang akan kita perjelas. Kami sadar perlu ada regulasi khusus tentang daerah kepulauan,” ujar Muqowam dalam FGD bertema “Urgensi Undang-Undang Pemerintah Daerah Kepulauan” di Komplek Parlemen, Senayan, Jakart, Rabu (19/7).

Sementara itu, Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono dalam sambutannya menyampaikan bahwa pembahasan ini adalah proses panjang dari daerah kepulauan untuk mewujudkan kemajuan dan pemerataan pembangunan. RUU ini, kata dia, diharapkan bisa mengakomodir provinsi kepulauan yang terlupakan.

“Saya harap untuk penyempurnaan RUU Kepulauan ini bisa mendapatkan masukan brilian dari para peserta perwakilan daerah yang hadir. Karena sebagaimana telah dikukuhkan pasal 25 a UUD 1945, NKRI adalah sebuah negara kepualauan yang berciri nusantara yang batas dan hak haknya diatur oleh  UU. Oleh karena itu ruu kepulauan ini adalah amanat konstitusi agar kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan untuk seluruh rakyat indonesia bisa terwujud,” katanya.

Menurut Nono, RUU ini penting untuk keutuhan NKRI bukan hanya untuk daerah itu sendiri. Senada dengan Muqowam, Nono menilai formula pemberian dana ke provinsi seharusnya lebih arif tidak hanya berdasarkan kepada populasi saja. “Ada kebijakan anggaran pusat yang menyebabkan pembagian anggaran masih belum mengakomodir kebutuhan daerah kepulauan yang besar karena acuan angkanya populasi sehingga ini bisa jadi masalah karena pembangunan jadi tidak merata. Ingat, Indonesia ini bersatu wilayah-wilayah kepulauannya secara sukarela, maka jangan sampai mereka lepas dari NKRI karena merasa dilupakan,” ujarnya.

Nono menambahkan, program poros maritim dicanangkan pemerintah karena kondisi geostrategis Indonesia yang sangat menguntungkan. Namun, hal itu harus diiringi dengan peraturan yang spesifik seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, Papua, dan Aceh.

Dari narasumber yang hadir, Mahfud Sidik mengatakan harus ada keberpihakan kepada daerah kepulauan. “Di satu sisi berdasarkan pendapat dari Bank dunia, formula berdasarkan populasi itu sudah tepat, konsepnya karena untuk apa membangun daerah yang tidak ada populasinya. Namun memang kurang pas, karena kemiskinan di Jawa ini masih besar jumlahnya. Jika diteruskan maka daerah kepulauan akan selalu ketinggalan terus, karena dalam formula tersebut acuannya jumlah penduduk/populasi,” katanya.

Sementara itu, Deputi Pengembangan Regional Kementerian PPN/BAPENAS Arifin Rudiyanto mengatakan, berbagai pengaturan sudah diatur dalam UU. Untuk pendanaan diharapkan bisa sejalan dengan UU hubungan keuangan pusat dan daerah yang saat ini sedang berjalan, dan UU 23 untuk percepatan pembangunan pada derah yang berciri kepulauan.

Asisten Pemerintahan Kepulauan Riau Raja Ariza menyampaikan harga barang di provinsi kepulauan bisa selisih 10 kali lipat dibandingkan harga di Pulau Jawa. “Biaya pembangunan kepulauan sangat beda. Kalau beli barang semua sangat mahal 10 kali lipat standar harga. Oleh karena itu kami Provinsi Kepulauan Maluku, Maluku Utara, NTB, NTT, Sulut, Sultra, Sulteng, Kepri sangat berharap kebijakan dari pemerintah pusat. Karena daerah kepulauan bisa saja desa, kecamatan, atau provinsi,” katanya.

Menurut Ariza, jika dibiarkan berlarut, maka Kepri kemungkinan akan bergabung ke negara tetangga. “Periode mudik itu pemerintah menganggarkan Rp 5 triliun untuk perbaiki pantura, itu akan kami sangat apresiasi kalo dbelikan kapal bagus untuk seberangi ombak yang tingginya 7 meter. Pemerintah menganggap kami kaum separatis, padahal kami hanya menuntut keadilan,” ujarnya. (npm)