Radikalisme

Kastara.id, Jakarta – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius menyampaikan perlunya berhati-hati dalam menggunakan istilah radikalisme. Menurutnya, istilah itu memiliki makna ganda, negatif dan positif.

“Einstein menemukan sesuatu yang juga radikal di bidang pengetahuan. Nah, radikalisme dalam ilmu pengetahuan ini bermakna positif,” ujarnya saat penandatanganan MoU tentang Pencegahan Paham Radikal dan Intoleran di Jakarta, Kamis (19/7).

MoU ini ditandatangani Sekjen Kemenag Nur Syam mewakili Menag Lukman Hakim Saifuddin, Mendikbud Muhadjir Effendy, dan Kepala BNPT Suhardi Alius.

Sementara dalam hal beragama, Suhardi mendefinisikan radikalisme sebagai anti toleransi, anti NKRI, dan menyebarkan takfiri. Tiga hal ini menjadi instrumen untuk mengukur kadar radikalisme seseorang.

Hal senada disampaikan Mendikbud Muhadjir Effendy. “Saya lebih suka menggunakan istilah paham-paham yang berbahaya,” katanya.

Muhadjir berharap, MoU ini ditindaklanjuti dengan Perjanjian Kerja Sama pada level di bawahnya, seperti dalam pembinaan guru agama di sekolah umum. “Guru agama bertanggung jawab untuk membina organisasi ekstra siswa seperti Rohis, dan bahkan juga berkewajiban membina keagamaan guru umum,” jelas Muhadjir.

“Paham berbahaya itu bisa dari agama atau budaya. Segala sesuatu yang berlebihan itu berbahaya,” sambungnya.

Berikut delapan poin MoU Pencegahan Paham Radikal dan Intoleran antara Kemenag, Kemendikbud, dan BNPT.

Pertama, penyebarluasan informasi tentang pencegahan paham radikal dan intoleransi pada satuan pendidikan;

Kedua, pengembangan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler di satuan pendidikan yang berorientasi pada pencegahan penyebaran paham radikal dan intoleransi;

Ketiga, penguatan materi moderasi serta toleransi dalam keberagamaan sebagai pengembangan materi bahaya radikalisme dan intoleransi yang terintegrasi ke dalam mata pelajaran;

Keempat, peningkatan kapasitas guru dan tenaga kependidikan di bidang pencegahan penyebaran paham radikal dan intoleransi melalui penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;

Kelima, pertukaran data dan informasi serta tenaga ahli terkait upaya pencegahan penyebaran paham radikal dan intoleransi dengan tetap memperhatikan kerahasiaan dan kepentingan negara;

Keenam, pelibatan keluarga dalam pencegahan penyebaran paham radikal dan intoleransi;

Tujuh, pengembangan materi pendidikan keluarga dalam pencegahan penyebaran paham radikal dan intoleransi;

Delapan, pemberian layanan pendidikan bagi peserta didik yang berhadapan dengan hukum dan mengalami stigma akibat perbuatan yang bersumber dari paham radikal dan intoleransi. (put)