Suwendi

Oleh: Suwendi

MENDEKLARASIKAN diri sebagai penderita covid-19 apakah baik atau buruk? Sebuah pertanyaan yang memiliki dua penilaian sekaligus: bisa baik dan bisa buruk. Saya kira, tidak hanya pertanyaan mengenai hal itu, pertanyaan apapun dan mengenai apapun akan bisa bernilai baik dan buruk, yang itu semua tergantung dari konteks dan perspektif apa kita melihatnya.

Di saat musim pandemi covid-19 merajalela, tentu kita patut untuk berfikir langkah dan upaya apa yang perlu dilakukan oleh siapapun, tak terkecuali bagi penderita covid-19. Bagi orang yang sehat, tentu peluang untuk melakukan pencegahan itu banyak hal yang bisa diperbuat. Sebenarnya, demikian juga bagi penderita covid-19 itu sendiri, ada sisi-sisi tertentu yang juga bisa dilakukan, sebagai bagian dari mitigasi untuk menyelamatkan orang lain. Ingat, covid itu bukan hanya orang sehat menjadi tertular, tetapi juga penderita covid dapat menularkan kepada orang lain. Keduanya perlu dicegah.

Bagi penderita covid-19, yang sangat dibutuhkan dari orang lain adalah empati dan doa. Sebab, rasa empati dan doa sungguh menjadi motivasi sendiri yang akan memperkuat daya imunitas dirinya dalam melawan covid-19 di badannya. Bukan mengucilkannya, apalagi sumpah serapah yang dilontarkan untuk penderita covid-19. Terlebih di saat belum ditemukannya vaksin yang jitu untuk covid-19, maka kekuatan doa menjadi penguat imunitas sekaligus obat baginya.

Di sisi lain, bagi orang yang sehat, tentu perlu tahu siapa yang telah terinveksi covid-19 itu, agar bisa mengatur kontak langsung dan sikap yang semestinya dilakukan. Sikap waspada dan berhati-hati bagi orang sehat tentu sangat diperlukan agar dirinya tidak terkontaminasi virus. Selain itu, gotong royong dan membangun kebersamaan dari orang yang sehat untuk membantu orang yang positif covid-19 perlu dilakukan.

Kesadaran upaya mitigasi yang dilakukan oleh penderita covid-19 bisa jadi masih memprihatinkan. Di samping karena beban sakit secara fisik akibat covid-19, hal itu bisa diperparah dengan respon orang sehat yang tidak tepat terhadap sang penderita covid-19. Walhasil, kekurangsiapan fisik dan mental ini, bisa jadi, merupakan salah satu alasan utama rendahnya kesadaran mitigasi dari penderita covid-19, sehingga dirinya tidak melakukan upaya apa-apa, termasuk komunikasi dengan pihak-pihak yang berwenang, terlebih untuk mendeklarasikan dirinya sebagai penderita covid-19. Jika hal ini terjadi, percampuran dan kontak fisik antara penderita covid-19 dengan orang sehat dalam aktivitas sehari-hari demikian terbuka, sehingga berkontribusi terhadap peningkatan jumlah penderita covid-19.

Regulasi kesehatan memang mengatur secara jelas bahwa penderita covid-19 memiliki hak untuk tidak disebutkan identitasnya secara terbuka. Yang dikhawatirkan, terjadinya salah persepsi sekaligus tindakan yang tidak tepat yang dilakukan oleh orang lain terhadap penderita covid-19. Di samping itu, terdapat hak privilage penderita yang perlu diamankan.

Regulasi ini mengatur tentang hak bagi penderita covid-19, yang hak tersebut dapat dilaksanakan, atau justeru hak tersebut digunakan sebaliknya oleh penderita covid-19 untuk melakukan upaya mitigasi covid-19. Ini, tentu, tergantung dari kesiapan sang penderita covid-19 selaku pemilik hak.

Kaidah ushuliyah yang mengatakan dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (menghindari kerusakan lebih diutamakan dibanding dengan meraih kebaikan) tampaknya patut menjadi bahan pertimbangan tersendiri dalam menentukan perlu tidaknya mendeklarasikan dirinya sebagai penderita covid-19. Tentu, ini juga kasuistik, tidak dapat digeneralisasi.

Pertama, penderita covid-19 yang sangat mengkhawatirkan akan kesehatan fisik dan mentalnya karena tekanan psikologis dari masyarakat sekitar, misalnya, jika diumumkan identitas dirinya, maka menyembunyikan identas dirinya tentu lebih diutamakan. Sebab, ia harus mengutamakan terhindarnya kerusakan bagi dirinya. Namun demikian, baginya, tetap melakukan upaya-upaya protokol kesehatan dan langkah-langkah prosedural sebagai penderita covid-19.

Kedua, penderita covid-19 yang tidak khawatir terhadap resiko sebagaimana penderita pertama, maka mendeklarasikan dirinya sebagai penderita covid itu tampaknya diutamakan. Mengapa? Sebab, bagi penderita demikian, yang selesai dengan “persoalan dirinya” itu, maka menghindari terjadinya penyebaran covid-19 bagi masyarakat banyak harus mendapat prioritas. Upaya mitigasi dan preventif agar tidak menyebar kepada masyarakat banyak perlu untuk dilakukan.

Mendeklarasikan diri sebagai penderita covid-19 pasca diketahuinya hasil swab, bagi penderita model kedua, hemat saya, sekali lagi perlu dilakukan. Setidaknya ini akan memiliki beberapa dampak positif, tidak hanya bagi dirinya semata tetapi terutama bagi orang lain.

Pertama, deklarasi penderita covid merupakan bagian dari upaya mitigasi dini secara konkret, agar tidak sampai banyak orang sehat yang terpapar covid-19. Penelusuran (tracer) dengan beberapa orang yang pernah kontak langsung diharapkan akan lebih mudah dilakukan.

Kedua, deklarasi juga berfungsi sebagai upaya edukasi bagi masyarakat tentang bagaimana proses penyebaran covid-19 itu terjadi, tindakan apa yang perlu dilakukan, dan untuk meningkatkan kesadaran terhadap wabah pandemi covid-19 ini.

Ketiga, dukungan (support) dan doa dari masyarakat sekitar untuk kesembuhan sang penderita covid-19. Point ini perlu mendapatkan penekanan, agar penderita covid-19 harus diposisikan dengan baik. Dukungan dan doa merupakan bagian strategis untuk memperkuat imunitas sang penderita. Diyakini, semakin banyak yang mendoakan maka potensi terijabahnya doa akan semakin besar.

Dengan demikian, siapapun kita, tak terkecuali penderita covid-19 sendiri yang telah siap secara fisik dan mental, dapat berkontribusi untuk mencegah penyebaran covid-19 secara masif, di antaranya dengan deklarasi diri sebagai penderita covid-19. Semoga manfaat. (*)

* ASN Kemenag RI.