Kastara.id, Jakarta – Kementerian Perindustrian mendukung langkah PT Dirgantara Indonesia (DI) untuk ekspor pesawat ke beberapa negara dengan memanfaatkan dana penugasan khusus (national interest account/NIA) yang digunakan sebagai kredit pembeli dan modal kerja. Skema NIA dinilai potensial untuk memperkuat kemampuan ekspor perusahaan di tengah kondisi ekonomi global yang melambat.

“Dukungan dari pemerintah pada tahap pertama adalah buyers credit untuk ke beberapa negara yang memang memerlukan pembiayaan dari kita,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Haris Munandar usai mendampingi Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bertemu dengan Direktur Utama PT DI Budi Santoso di Jakarta (16/11).

Menurut Haris, mekanisme kredit pembeli bisa diterapkan pada penjualan ekspor ke negara-negara dengan kemampuan finansial terbatas seperti Senegal atau Nepal agar aliran kas PT DI tidak terganggu. Sementara itu, PT DI juga bisa memanfaatkan dana NIA sebagai modal kerja dalam aktivitas produksi tujuan ekspor negara-negara yang memiliki pendanaan kuat seperti Uni Emirat Arab atau Thailand.

“Selanjutnya, pinjaman bisa untuk memperkuat working capital supaya pengadaan bahan baku lancar, delivery lebih cepat dan tidak ada hambatan. Soalnya banyak aktivitas ekspor perusahaan terganggu karena modal kerja ini,” ujarnya.

Pemerintah menyediakan dana NIA melalui Indonesia Exim bank untuk memberikan pembiayaan ekspor atas transaksi atau proyek yang secara komersial sulit terlaksana, tetapi dinilai perlu oleh pemerintah untuk menunjukkan kebijakan atau program ekspor.

Pada tahun 2016, dana yang tersedia dalam NIA mencapai Rp 2,2 triliun dan tidak sepenuhnya terpakai. Untuk itu, pada tahun depan, pemerintah kembali menyuntikkan dana ke dalam NIA hingga total dana yang tersedia pada 2017 mencapai Rp 4,2 triliun. “Dana yang disiapkan Indonesia Exim bank cukup besar, dan itu dana bergulir,” kata Haris.

Sementara itu, Budi menjelaskan dana Indonesia Exim bank akan digunakan untuk mendukung rencana ekspor pesawat N-235 dan N-212. PT DI mengajukan penggunaan dana NIA senilai Rp 400 miliar untuk mendukung aktivitas ekspor perusahaan ke beberapa negara Afrika dan Asia. “Kami mencoba untuk ekspor, beberapa negara punya uang, tetapi beberapa negara masih butuh financing,” ujarnya.

Menurut Budi, kedua jenis pesawat tersebut layak mendapatkan dukungan dana dari NIA karena merupakan produk hasil pengembangan nasional hingga dikuasai 100 persen oleh PT DI. “Pesawat-pesawat itu adalah milik kita seluruhnya. Harga pesawat N-235 sekitar USD 25 juta, sedangkan N-212 kira-kira separuhnya,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Airlangga menjelaskan, industri penerbangan dalam negeri terus berkembang dan mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Hal ini diindikasikan dengan kenaikan jumlah lalu lintas udara, baik penumpang maupun untuk arus barang.

“Pertumbuhan jumlah penumpang udara domestik meningkat rata-rata 15 persen per tahun selama 10 tahun terakhir, sedangkan jumlah penumpang udara internasional hingga naik sekitar 8 persen dan Indonesia adalah merupakan negara terbesar ke-3 di Asia dalam pembelian pesawat udara setelah China dan India,” ujarnya.

Saat ini, lanjut Airlangga, Indonesia telah memiliki infrastruktur dalam rangka pengembangan industri kedirgantaraan. Salah satunya adalah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang bersama PT Dirgantara Indonesia (DI) sedang mengembangkan pesawat jenis N219, yaitu pesawat berpenumpang 19 orang. Selanjutnya, akan terus dikembangkan pesawat jenis N245 dan pesawat N270.

“PT DI sebagai BUMN sampai saat ini telah memproduksi beberapa jenis pesawat berbasis propeler dan beberapa jenis helikopter yang merupakan join produksi dengan Bell Helicopter dan Eurocopter,” katanya. Sedangkan di sektor swasta, PT Regio Aviasi Industri juga sedang mengembangkan pesawat R80, yaitu pesawat berpenumpang 80-90 orang yang diinisiasi oleh B.J. Habibie. (mar)