Islam

Kastara.ID, Depok – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin didaulat memberikan kuliah umum di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), Depok. Kuliah umum yang berlangsung di auditorium FIB ini digelar menyongsong 60 tahun Prodi Arab, FIB.

Hadir Dekan FIB Adrianus Laurens Gerung Woworuntu, Kaprodi Arab Apipudin, dan sekitar dua ratus mahasiswa dari FIB, utamanya Prodi Arab. Kuliah umum mengangkat tema “Islam dan Kebudayaan di Indonesia”.

Berkemeja putih, Menag mengawali paparannya dengan penegasan bahwa ketika didakwahkan, Islam mengalami kontekstualisasi. Sebab ajaran Islam didakwahkan dalam konteks yang juga beragam.

“Itulah kenapa ada sebagian praktik ajaran Islam di Indonesia yang berbeda dengan negara lain. Budaya menjadi bagian yang sangat penting ketika Islam didakwahkan,” terang Menag di UI, Depok, Rabu (20/2).

Menurut Menag, setidaknya ada tiga jenis relasi antara agama (Islam) dan budaya. Pertama, ketika agama dipersepsi bertentangan dengan tradisi, maka budaya dipaksa tunduk terhadap agama.

Kedua, pemahaman nilai agama dipaksa untuk tunduk dengan budaya yang sudah berkembang. Ketiga, nilai-nilai substantif agama diadopsi dalam budaya sehingga budaya mengalami penyesuaian dan melahirkan kebudayaan baru.

Masuknya Islam di Indonesia, dalam amatan Menag, lebih ke pola relasi yang ketiga. Islam didakwahkan sedemikian rupa sehingga tradisi budaya yang sudah berkembang dicoba dipertahankan selama secara prinsipil dan substansial tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

“Selama tidak bertentangan, maka budaya tetap dijaga dan dipelihara,” tuturnya.

Karenanya, lanjut Menag, di dunia pesantren, dikenal ungkapan tentang pentingnya menjaga warisan yang baik sambil terus berkreasi untuk melahirkan hal yang lebih baik dan kontekstual.

Menag menilai, agama dan budaya sama penting dan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Agama tidak bisa diimplementasikan tanpa budaya. Sebaliknya pengembangan budaya juga harus dipandu nilai agama.

Bagi Menag, beragama perlu menggunakan rasa agar agama tidak justru menjadi alat merendahkan manusia. Demikian juga budaya. Jika tidak dilandasi kemampuan rasa, maka kebiasaan yang membudaya bisa menjadi kering dan mencerabut nilai kemanusiaan.

“Mari kembangkan rasa. Agama dan budaya penting agar rasa pada diri manusia tetap terjaga,” tutupnya.

Kuliah umum di FIB-UI ini juga diisi penampilan puisi empat mahasiswa. Mereka membawakan puisi dengan empat bahasa, yaitu Arab, Persia, Turki, dan Ibrani.

Menag juga membacakan tiga puisi bertajuk “Kebenaran dan Waktu”, “Sandikala”, danĀ  “Cinta”. (put)