Dilan 1991(foto: Fimela)

Kastara.ID, Jakarta – Selama tiga tahun terakhir, jumlah penonton film Indonesia terus meningkat. Data jumlah penonton film Indonesia pada 2015 mencapai 16,2 juta. Angka ini meningkat lebih dari seratus persen pada 2016, penonton film Indonesia mencapai 34,5 juta penonton.

Tahun 2017 penonton film nasional meningkat lagi menjadi 40,5 juta. Dan 2018 lebih dari 50 juta penonton. Bahkan sepanjang 2018, jumlah film bioskop yang berhasil diproduksi hampir menyentuh 200 judul, sedangkan tahun sebelumnya jumlah produksinya hanya 143 judul.

Peningkatan jumlah penonton tesebut sebenarnya bisa lebih tinggi lagi jika bioskop mampu menembus semua ibukota kabupaten di Indonesia. Menurut Ketua Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia Djonny Syafruddin, penyebaran layar bioskop masih tidak merata, sehingga mempersempit akses masyarakat untuk menonton film nasional. “Keterlibatan negara dibutuhkan untuk membenahi ekosistem perfilman nasional,” katanya.

Menurut Djonny, pemerintah bisa memperluas pasar atau layar di Indonesia dengan memberikan akses kredit kepada investor lokal. Atau memberikan kemudahan dana dengan bunga yang murah, untuk membangun bioskop. Satu layar bioskop bisa berbiaya lebih dari Rp 2,5 milar.

Jumlah layar bioskop yang ada sekarang ini jumlahnya 1.500 layar di seluruh Indonesia. Idealnya harus ditambah sekitar 500 layar. Itu pun baru terserap 10 persen dari total yang jumlah kebutuhan ideal. Sebab masih terdapat beberapa provinsi yang belum ada layar bioskop. Yakni Aceh, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Papua Barat, bahkan Sulawesi Barat.

Hal senada juga dikatakan sutradara asal Indonesia yang tengah menetap di Amerika, Livi Zheng. Ia mengatakan, kenapa film-film Amerika bisa sukses di dalam ataupun di negeri orang? Amerika memiliki jumlah penduduk 320 juta jiwa dan memiliki jumlah layar sekitar 40.759. Sedangkan Korea, jumlah penduduk hanya 51,3 juta jiwa dengan jumlah layar yang lebih besar dari Indonesia, yaitu sekitar 1.880.

Menurut Sutradara Eugene Panji, secara tertulis Indonesia sudah mampu menjadi rumah bagi film-film lokal. Tetapi secara medium tayangnya belum. Karena Indonesia belum memiliki ruang yang sama dengan film-film Hollywood. Maka diperlukan regulasi yang tepat dari pemerintah dalam pembagian ruang tayang film lokal dan internasional.

Menurutnya, film Hollywood dalam perspektif ruang tayang masih mendominasi. “Seharusnya ada aturan main dengan lembaga negara dan pelaku industri. Seperti berapa persentase pembagian dari bioskop untuk menayangkan film Indonesia dan luar negeri,” jelasnya.

Pasar Film Besar

Konvensi film tahunan terbesar di Asia, CineAsia, menilai bahwa Indonesia merupakan pasar film paling potensial di kawasan Asia Pasifik. Pada 2017, tercatat bahwa Asia Pasifik memberikan sumbangan box office sebanyak 16 miliar dolar AS atau meningkat 44 persen dalam kurun waktu lima tahun.

Indonesia menjadi negara Asia Pasifik yang memiliki perkembangan yang paling signifikan sehingga membuat CineAsia 2018 menyebut Indonesia sebagai The Rise of the Sleeping Giant.

Dalam konvensi yang berlangsung di Hong Kong Convention & Exhibition Centre pada 10-13 Desember 2018 itu, salah satu produser kenamaan Indonesia, Sheila Timothy, menjadi pembicara di sana.

“Industri film Indonesia menunjukkan perkembangan yang signifikan dengan 28 persen peningkatan box office per tahun dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Pada 2017 lalu, Indonesia menduduki posisi 16 pasar film terbesar di dunia,” kata Sheila dalam keterangan tertulis Lifelike Picture.

Sheila menjadikan kesuksesan Wiro Sableng dalam menggaet 20th Century Fox dan menjadi co-produksi film pertama Studio Hollywood tersebut di Asia Tenggara sebagai salah satu bukti potensi dari pasar film Indonesia.

Selain itu, ada pula Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak yang berjaya di festival film dunia dan diganjar sejumlah penghargaan internasional.

“Dalam skala industri perfilman, Indonesia memang masih memiliki segudang pekerjaan rumah yang harus dibenahi,” ucap Sheila.

Stimulus Permodalan

Sementara itu, Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) didukung oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI) memperkuat subsektor perfilman ini dengan menciptakan akses permodalan dan mendorong film entrepreneurship dengan menggelar Akatara Indonesian Film Financing Forum.

Pada pelaksanaannya di tahun kedua ini, AKATARA 2018 mengalami peningkatan luar biasa. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang hanya menerima proposal produksi film, AKATARA juga menerima proposal nonproduksi untuk mendorong kewirausahaan perfilman lebih berkembang.

Terhitung sekitar 343 proposal perfilman yang masuk ke panitia. Jumlah ini artinya mengalami kenaikan sekitar 300% dari tahun sebelumnya, yang hanya 90-an proposal. Proposal yang masuk tahun ini terdiri dari sekitar 281 proposal produksi film dan 62 proposal nonproduksi.

Dari 343 proposal  tersebut kemudian dikurasi dan diseleksi menjadi 53 karya (48 produksi film dan 8 proposal nonproduksi film) ditambah 4 project untuk Torino Lab, sehingga total menjadi 57 proposal. Sementara itu yang memperoleh kesempatan presentasi di hadapan investor nasional dan internasional di panggung utama sejumlah 15 proyek film.

Selain jumlah karya yang bertambah, AKATARA 2018 juga semakin diminati oleh investor nasional dan mancanegara. Para investor yang hadir berasal dari bidang media & entertainment, angel investors, Brand Managers/Directors, Filantrofi, Local Buyer, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang tertarik mengembangkan perfilman, dan sebagainya. Beberapa nama besar dari investor internasional antara lain Torino Film Lab, Ideosource, Iflix, SAAVA International co-production, Asian Animation Summit dan VIDDSEE.

“Bekraf sangat mendorong penciptaan iklim investasi perfilman yang positif. Kami yakin industri film dapat memberikan multiplier effect kepada sub sektor perekonomian lainnya di tanah air,” ungkap Kepala Bekraf Triawan Munaf.

Inisiasi di bidang permodalan sendiri sangat dimungkinkan setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 12 Mei 2016.

“Film merupakan salah satu subsektor ekonomi yang paling progresif perkembangannya sejak dicabut dalam Daftar Negatif Investasi,” tambah Triawan.

BEKRAF sendiri telah melakukan upaya pengumpulan modal untuk berinvestasi di subsektor film seperti reksadana penyertaan terbatas serta bekerjasama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Bekerja sama dengan BKPM, BEKRAF mempromosikan berbagai peluang investasi industri perfilman mengusung enam aspek yaitu: Investment, LocationFilm Project, Intellectual Property (IP), Film, dan Festival. (nad)