Din Syamsuddin

Oleh: Muhammad AS Hikam

KETUA Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin menyatakan bahwa: “Quick count selama ini banyak menimbulkan kemudaratan, kemafsadatan. (Karena) setelah tahu quick count, rakyat beruforia merayakan kemenangan.” Oleh sebab itu pihaknya mengusulkan agar quick count DITIADAKAN.

Menyampaikan usul adalah hak MUI dan Din Syamsuddin sebagai bagian dari kelompok masyarakat dan warga negara RI. Demikian pula jika ada yang MENOLAK usul tersebut, sejauh memang ada alasan yang nalar dan pembuktian yang bisa dipertanggungjawabkan baik secara keilmuan, etika, politik, sosial, budaya.

Alasan Din Syamsuddin dan MUI untuk meniadakan quick count tak cukup solid dalam pandangan saya sebagai pengamat politik maupun warga negara Republik Indonesia. Belum ada suatu kajian komprehensif tentang dampak negatif quick count terhadap stabilitas kamnas dan politik nasional semenjak metode tersebut diterapkan dalam Pemilu di Republik Indonesia. Juga Din Syamsuddin mengabaikan dampak positif dari quick count bagi proses penghitungan hasil Pemilu apabila ia dilakukan secara ketat mengikuti kaidah keilmuan.

Hal sama juga terjadi dengan hasil survei yang selain bisa berdampak positif juga bisa negatif, terutama jika ia disalahgunakan dengan mengabaikan kaidah dan prosesur keilmuan yang sudah disepakati. Jadi akar masalahnya bukanlah pada quick count atau survei sebagai salah satu upaya manusia modern dalam memecahkan masalahnya, tetapi pada bagaimana mereka diterapkan: apakah sesuai atau tidak dengan aturan keilmuan yang berlaku.

Terkait dengan reaksi masyarakat terhadap hasil quick count, yang harus diperhatikan justru adalah bagaimana manipulasi terhadap hasil quick count sehingga mengakibatkan eforia tersebut. Jika masyarakat diajari secara rasional utk memahami apa dan bagaimana serta untuk keperluan apa quick count itu, saya rasa manipulasi hasil akan bisa dikurangi. Ini sangat berhubungan dengan dinamika masyarakat dan kedewasaan masyarakat dalam menghadapi modernitas dan modernisasi.

Fakta selama beberapa dasawarsa di negeri kita menunjukkan bahwa manipulasi quick count dimotivasi oleh kepentingan individu dan kelompok kepentingan khusunya elit politik. Masyarakat sejatinya sudah siap dan terbiasa dengan survei-survei dan juga quick count, karena mereka juga bagian integral dari masyarakat modern yang tersosialisasi oleh praksis masyarakat modern di belahan dunia lain.

Menurut saya, usul Din Syamsuddin dan MUI untuk meniadakan quick count selain melawan dinamika masyarakat, juga tidak bijak. Ini mirip dengan upaya melarang menggunakan teknologi canggih dalam rangka mengamati HILAL untuk awal Ramadhan dan Syawal, dengan alasan yang sama: menciptakan keributan dalam masyarakat.

Manusia modern akan selalu berkembang, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipakainya. Pembatasan bisa saja dilakukan sejauh memang demi kemaslahatan manusia sendiri dengan didasari oleh pertimbangan-pertimbangan matang. Bukan karena sentimen dan kepentingan. Survei dan quick count merupakan salah satu kebutuhan dalam masyarakat modern yang bergerak dengan dinamika yang cepat.

Sejauh yang saya lihat, baik survei dan quick count membawa manfaat yang lebih banyak ketimbang madharatnya. Soal ada pihak yang melakukan manipulasi dan bereaksi berlebihan, hal itu bukan karena dampak mereka, tetapi karena sikap manipulatif yang ada di antara individu dan kelompok kepentingan.

Akhirnya, marilah berpolitik dengan nalar dan nurani, bukan kemarahan dan benci. Demokrasi di Indonesia harus semakin terkonsolidasi, bukan mengalami kemunduran akibat manipulasi. Wallahua’lam. (*)