Kastara.id, Jakarta – Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) mengatakan revolusi mental di Kejaksaan Agung belum menghasilkan perubahan yang berarti terkait dengan mental, integritas, dan perilaku.

“Revolusi mental di Kejaksaan belum menghasilkan perubahan mental, integritas, dan perilaku yang optimal,” kata Direktur Eksekutif MaPPI FHUI Choky Ramadhan saat ditanya masih adanya oknum jaksa selama 2016 tertangkap tangan terkait dugaan suap, di Jakarta, Selasa (20/12).

Choky mengingatkan, revolusi mental itu tidak bisa hanya dengan bentuk pelatihan-pelatihan saja, justru harus didukung dengan adanya pengawasan dari Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pengawasan itu, menurut Choky, seperti adanya “database” kepegawaian yang dapat mengetahui perilaku dari jaksa. “Jaksa korup terendus oleh KPK, tandanya pengawasan internal di Kejaksaan kurang optimal bekerja,” ujarnya.

Choky pun mengkritisi setiap ada jaksa yang ditangkap, pengawasan baru turun memeriksa dan hasil pemeriksaan ironisnya justru semacam menjustifikasi atau melindungi jaksa nakal itu.

Karena itu, kata Choky, diperlukan keseriusan dari tubuh kejaksaan sendiri untuk melakukan revolusi mental, bukannya terbatas dengan bentuk pelatihan-pelatihan saja.

Choky menyebutkan, kasus oknum jaksa pada 2016, di antaranya, AF yang berdinas di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur ditangkap Tim Saber Pungli beserta barang bukti Rp 1,5 miliar dan kasus terbaru penangkapan oknum jaksa yang berdinas di Badan Keamanan Laut (Bakamla) oleh KPK, Eko Susilo Hadi dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terkait pengadaan satelit pemantau atau monitoring di Bakamla senilai Rp 2 miliar.

Sebelumnya, kejaksaan membanggakan Badan Diklat Kejaksaan di Ragunan, Jakarta Selatan, secara konsisten sejak 2015 mengadakan diklat revolusi mental yang dikhususkan untuk pejabat Eselon II dan III.

“Untuk eselon II telah dilakukan pada tiga angkatan dan eselon III tujuh angkatan. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas diklat revolusi mental itu maka telah dilakukan Diklat “TOT” Revolusi Mental sebanyak satu angkatan,” kata Jaksa Agung HM Prasetyo dalam konferensi pers Rapat Kerja Kejaksaan 2016 di Bogor, akhir November 2016.

Soal penguatan fungsi pengawasan sebagai “prime mover”, kejaksaan mendorong pelaksanaan “reward and punishment” secara konsisten. Hal itu tergambar dari jumlah sanksi yang dijatuhkan pada 2016 kepada 17 orang yang dibebaskan dari jabatan strukturalnya, 23 orang dihentikan dengan hormat dan 20 orang dihentikan dengan tidak hormat. “Serta 17 orang diberhentikan sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil,” ujarnya. (raf)