Toleransi
Kastara.ID, Kuala Lumpur – Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menjadi pembicara dalam Lokakarya Regional tentang Mempromosikan Toleransi dan Non Diskriminasi yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia, pada Kamis-Jumat (20-21/12).
Kegiatan itu diadakan oleh Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB (UN Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights) bersama Suhakam Malaysia.
Lokakarya ini merupakan kelanjutan dari kegiatan dengan isu yang sama pada 2014 di Jakarta, dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran dari berbagai pihak, pemerintah, akademisi, masyarakat sipil dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang standar dan mekanisme hak asasi manusia terutama yang terkait dengan isu non-diskriminasi dan kesetaraan (equality).
Lebih jauh, lokakarya juga mendiskusikan kaitannya dengan agenda SDGs 2030 untuk melawan segala bentuk praktik diskriminasi. Tentu saja, secara praktis dimaksudkan untuk mencari tahu perkembangan pelaksanaan standar HAM di negara masing-masing maupun di tingkat regional Asia Tenggara.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik diberikan kesempatan pertama menyampaikan pengalaman Indonesia di dalam mengembangkan prinsip non-diskriminasi, prinsip toleransi di Indonesia. Taufan menjelaskan bahwa sejak kemerdekaan Indonesia, negara-bangsa yang merupakan hasil perjuangan seluruh elemen bangsa telah menegaskan prinsip persamaan hak bagi semua warga negara, meski belum sepenuhnya prinsip persamaan hak diakui sejak awal negara Indonesia merdeka.
“Masih ada pasal dalam Konstitusi yang hanya mengakui hak warga negara “asli” yang bisa dicalonkan sebagai Presiden, namun setelah reformasi mengalami amandemen dengan mengadopsi prinsip non diskriminasi, begitu pula beberapa kebijakan tentang status kewarganegaraan,” papar Ahmad Taufan di hadapan puluhan peserta dari berbagai negara.
Tentu saja, ujar Taufan, pasang-surut dinamika sosial-politik Indonesia menyebabkan berbagai permasalahan diskriminasi, intoleransi, bahkan radikalisme terus menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia.
Menurut Taufan, setelah reformasi, Indonesia menerapkan demokrasi dan terus mereformasi sistem hukum, sistem politik dan instrumen lainnya menuju negeri demokrasi yang mematuhi prinsip dan standar HAM, kecenderungan dari tahun ke tahun tantangan atas prinsip persamaan hak, non-diskriminasi dan harmoni justru terus bertambah.
Ia mengutip berbagai studi yang dilakukan oleh Komnas HAM maupun lembaga-lembaga kajian lainnya yang menemukan bukti berkembangnya sikap intoleransi dari masyarakat yang diekspresikan ke dalam bentuk tindakan diskriminatif, bahkan kekerasan, pengucilan, pengerusakan atas rumah ibadah dan ritual dan hak milik kelompok-kelompok masyarakat lain didasarkan sentimen ras, suku dan agama.
“Berbagai pengaduan tentang penghadangan kebebasan berekspresi, beragama dan ekspresi budaya disampaikan ke Komnas HAM,” kata Ahmad Taufan yang didampingi oleh staf peneliti Komnas HAM Aji.
Taufan menjelaskan pada bagian akhir diskusinya, “reformasi hukum dan politik adalah kata kunci dimana kerangka hukum dan politik yang sudah baik bukan saja diperkuat tetapi di sisi lain juga perlu mengevaluasi peraturan, perundangan, kebijakan bahkan program di tingkat nasional mau pun lokal yang bertentangan dengan prinsip HAM. Sehingga, diperoleh sistem yang lebih sensitif, akomodatif dan patuh kepada prinsip dan standar demokrasi dan hak asasi manusia.”
Secara khusus, Taufan menjelaskan praktek implementasi International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) yang sudah diratifikasi Indonesia tahun 1999 dan UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Berbagai kajian, studi, hasil pemantauan dan rekomendasi Komnas HAM perlu diperkuat dengan revisi UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia untuk menguatkan wewenang Komnas HAM maupun melalui kerja sama kepatuhan rekomendasi yang sudah diinisiasi oleh Komnas HAM beberapa waktu lalu.
“Standar norma dan setting atas ICERD dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis telah diluncurkan dan disosialisasikan ke berbagai pihak di Indonesia untuk menjadi acuan di dalam membangun sistem hukum dan politik yang lebih demokratis dan sensitif HAM,” jelas Taufan.