Garam

Kastara.ID, Jakarta – Deputi Bidang Kebijakan dan Advokasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Taufik Ariyanto memperkirakan 1,8 juta ton garam produksi lokal akan mubazir atau terbuang percuma. Garam lokal itu tidak akan terserap lantaran pemerintah bakal melakukan impor 3 juta ton garam pada tahun ini. Taufik menyatakan, jumlah impor garam tahun ini mengalami kenaikan jika dibanding tahun lalu sebanyak 2,7 juta ton.

Saat menggelar konferensi pers secara virtual (20/4), Taufik menerangkan, pemerintah sudah menentukan kebutuhan garam pada 2021 sebanyak 4,6 juta ton. Sebanyak 3 juta ton akan ditutupi dengan impor garam. Sedangkan sisanya akan diambilkan dari produksi petani garam lokal.

Sedangkan estimasi prosuksi garam pada 2021 menurut Taufik sebanyak 2,1 juta ton. Jika ditambah stok tahun lalu sebanyak 1,3 ton, Taufik menyebut stok 2021 sebanyak 3,4 juta ton. Taufik menambahkan, pasar garam lokal sebanyak 1,6 juta ton. Sehingga dari perhitungan yang sudah dilakukan diperkirakan sebanyak 1,8 juta ton garam tidak akan terserap. Celakanya, jumlah itu sebagian besar adalah garam lokal.

Taufik menuturkan, jumlah garam yang tidak terserap atau mubazir bisa berubah jumlahnya, tergantung kondisi cuaca. Jika panen bersamaan dengan cuaca sedang panas, seperti April hingga September jumlahnya bisa semakin besar. Pasalnya saat cuaca panas produksi garam petani lokal akan semakin tinggi. Namun jika saat panen cuaca sedang hujan, produksi petani bisa berkurang. Sehingga jumlah garam yang mubazir bisa kurang dari 1,8 juta ton.

Sebelumnya Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (NU) Witjaksono mengaku prihatin dengan kondisi petani garam lokal. Saat memberikan konferensi pers virtual beberapa waktu lalu, Witjaksono mengatakan, rencana pemerintah mengimpor 3 juta ton garam telah mengancam kehidupan para nelayan dan petani garam.

Witjaksono mengatakan, pihaknya telah melakukan pengamatan langsung ke beberapa sentra produksi garam lokal, seperti di Indramayu, Jawa Barat. Menurutnya harga garam lokal anjlok hingga hanya Rp 100 sampai Rp 300 per kilogram. Padahal seharusnya harga garam lokal Rp 700 hingga Rp 1.000 per kilogram. Hal ini menurut Witjaksono sangat mengenaskan. Akibatnya garam yang sudah ditanam sejak 1-2 bulan dibiarkan begitu saja dan tidak jadi dipanen.

Hal serupa juga terjadi pada petani garam di Nusa Ttenggara Timur. Mereka juga menyatakan keresahan akibat produksi garamnya tidak bisa terserap. Witjaksono menyebut kondisi tersebut adalah efek adanya garam impor terutama dari China. (ant)