Kebenaran

Oleh: M. Nigara

GUSTI Allah mboten sare (Allah tidak tidur). Ini bukan sekadar ucapan, tapi fakta. Apa pun agama kita, kecuali bagi mereka yang jelas-jelas tidak mengakuinya seperti kelompok yang menyebut bahwa akhirat itu hanya dongeng, hanya karena kita dianggap belum pernah ke sana.

Dua kalimat pembuka ini sengaja saya tuliskan untuk mengingatkan bahwa apa pun yang kita lakukan, Allah pasti menyaksikan. Jika kesalahan yang berdampak pada hukuman Allah hanya berdampak untuk kita pribadi, itu bukan soal besar. Artinya, Allah Maha Pengampun.

Tapi, jika karena perbuatan kita, lalu puluhan, ratusan, bahkan ratusan juta orang menderita, maka neraka jahanamlah tempat serendah-rendahnya yang disediakan Allah untuk kita. Sekali lagi, ini jika kita memang memiliki agama, apa pun itu, utamanya Islam. Nauzubillahiminzalik.

Sebaliknya, jangankan membahagiakan ratusan juta manusia, membahagiakan seseorang, termasuk memberi keadilan sesuai hukum Allah, untuk satu manusia saja, maka surga adalah ganjarannya.

Hari-hari ini, pentas surga-neraka sedang digelar. Ratusan juta umat sedang menanti keadilan. Dan, sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi sedang berada di jalur itu. Mereka akan menjadi orang-orang yang paling beruntung di dunia atau sebaliknya. Kesalahan mengambil keputusan, atas nama apa pun juga, maka azab Allah pasti akan datang, demikian pula sebaliknya.

Contoh terindah
Di bawah ini saya sengaja mengutip tulisan yang dimuat di Republika.co.id, 16 September 2017.

Banyak kasus yang ditangani Ali bin Abi Thalib berakhir dengan sangat menakjubkan, tanpa ada perpecahan di antara banyak pihak. Satu di antaranya yang langsung terkait dengan dirinya. Simaklah bagaimana cara Amirul Mukminin ini menyelesaikannya kasusnya.

Begini kisahnya:
Alkisah, Ali kehilangan baju besi miliknya. Baju besi mahal dan berharga itu ditemukan oleh seorang non-Muslim (dzimmi) dan hendak dijual di pasar. “Ini baju besiku yang jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘begini’,” kata Ali.

“Tidak, ini baju besiku karena ia ada di tanganku, wahai Amirul Mukminin,” jawab dzimmi itu.

“Tak salah lagi, baju besi itu milikku. Aku tidak merasa menjual dan memberikannya pada orang lain. Dan sekarang tiba-tiba baju itu ada di tanganmu.”

“Di antara kita ada seorang Hakim Muslim?”

“Engkau telah meminta keadilan. Mari kita ke sana.”

Keduanya lantas pergi ke Syuraih al-Qadhi. “Apa yang ingin Anda katakan, wahai Amirul Mukminin?”

“Aku menemukan baju besiku di tangan orang ini karena benda itu benar-benar jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘ini’. Lalu, baju besiku sampai ke tangannya, padahal aku tidak menjual atau memberikan padanya.”

Sang Hakim bertanya kepada si dzimmi, “Apa yang hendak kau katakan, wahai si fulan?”

“Baju besi ini milikku dan buktinya ia ada di tanganku. Aku juga tidak menuduh khalifah.”

Sang Hakim menoleh ke arah Amirul Mukminin sembari berkata, “Aku tidak ragu dengan apa yang Anda katakan bahwa baju besi ini milik Anda. Tapi, Anda harus punya bukti untuk meyakinkan kebenaran yang Anda katakan, minimal dua orang saksi.”

“Ya, saya sanggup. Budakku, Qanbar, dan anakku, Hasan, bisa menjadi saksi.”

“Namun, persaksian anak untuk bapaknya tidak diperbolehkan, wahai Amirul Mukminin.”

“Mahasuci Allah! Seorang ahli surga tidak boleh menjadi saksi. Tidakkah kau mendengar sabda Rasulullah SAW bahwa Hasan dan Husain adalah tuan para pemuda penduduk surga?”

“Ya. Saya mendengarnya, Amirul Mukminin. Hanya saja Islam membuatku melarang persaksian anak untuk bapaknya.”

Khalifah lalu berkata pada si dzimmi, “Ambillah baju besiku karena aku tidak punya saksi lagi selain keduanya.”

Mendengar kerelaan Ali bin Abi Thalib, si dzimmi berujar, “Aku mengaku baju besi ini memang milik Anda, Amirul Mukminin,”

Ia lalu mengikuti sang Khalifah sambil berkata, “Amirul Mukminin membawa keputusan ke depan Hakim. Dan, Hakim memenangkan perkara ini untukku. Sungguh aku bersaksi bahwa agama yang mengatur perkara demikian ini adalah benar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammmad hamba dan utusan Allah! Ketahuilah wahai Hakim, baju besi ini miliknya. Aku mengikuti tentaranya ketika mereka berangkat menuju Shiffin. Baju besi ini jatuh dari unta, lalu aku ambil.”

Ali bin Abi Thalib berkata, “Karena engkau telah masuk Islam, aku berikan baju ini padamu, berikut kudaku ini.” Beberapa waktu kemudian, laki-laki itu gugur sebagai syahid ketika ia ikut berperang melawan kaum Khawarij di Nahrawan.

Ali adalah Khalifah. Di tangannya, sinar Islam bersinar sangat terang. Tapi, Ali tak mempergunakannya untuk kepentingan dirinya. Jika mau, Ali pasti bisa melakukan apapun.

Jujur dan Adil
Adalah Khalifah Umar bin Khatab yang cerdas dan tegas yang telah mengangkat Syuraih sebagai Hakim di Kufah. Keputusannya sangat tepat.

Syuraih mencatatkan tinta emas sebagai Hakim adil dan bertakwa. Padahal Syuraih adalah seorang lelaki Yaman dari suku al-Kindi, bukan dari golongan masyarakat kelas atas.

Bukan hanya karena Syuraih termasuk orang yang pertama masuk Islam di daerahnya, tapi Umar melihat lebih dari itu. Maja, sang khalifah tak ragu sedikit pun untuk mengangkatnya sebagai Hakim. Kita tahu, Hakim adalah wakil Allah di dunia. Di tangannyalah keadilan ditentukan. Di hatinyalah kejujuran bersemayam. Tanpa kejujuran, maka keadilan tak akan pernah bisa ditegakkan.

Syuraih sungguh telah menjadi penegak keadilan yang luar biasa. Selama 60 tahun ia bertugas, tak sekalipun ia mendustakan keputusan. Ia tak ragu untuk menegakkan keadilan, baginya Allah adalah segalanya. Maka, jangan kan saudara, kerabat, pejabat, bahkan khalifah pun tidak ia istimewakan.

Lalu, bagaimana dengan sembilan Hakim MK? Kita tidak berharap mereka seperti Syuraih seutuhnya. Kita juga tidak ingin berburuk sangka, meski di media sosial beredar segala macam tafsir keputusan yang semuanya mengatakan petahana pasti menang.

Kita juga tidak berharap petahana seperti Ali bin Abi Thalib. Kemenakan dan menantu Rasulallah itu pasti menjadi akhli surga. Sementara petahana dan kita semua, jangankan masuk, mencium harumnya surga pun kemungkinannya masih jauh sekali. Meski demikian, kita berharap Allah terus melimpahkan rahmat-Nya untuk kita, anda dan saya. Agar harapan seluruh kesalahan diampuni-Nya, menjadi nyata. Dan karena rahmat-Nya, surga menjadi akhir perjalanan kita. Aamiin.

Tapi, kita berharap ada sedikit saja rasa takut bahwa Allah sungguh-sungguh melihat apa pun yang akan mereka lakukan. Bukankah Allah tahu segenap rencana yang ada di hati mereka, di hati setiap insan? “Pengadilan ini disaksikan Allah dan para malaikat. Dan saya hanya takut pada Allah. Untuk itu, saya dan MK tidak bisa diintervensi oleh siapa pun,” begitu kalimat pembuka, Anwar Usman, Ketua MK, Jumat (14/6) pagi.

Dan kita juga berharap ada keajaiban Allah yang diberikan untuk rakyat dan bangsa Indonesia agar terjadi perubahan. Agar anak cucu dan keturunan kita tidak sengsara. Terpenting bangsa Indonesia tidak mengalami nasib buruk seperti: Jibouti, Angola, Srilangka, Maldives, Pakistan, dan Montenegro yang telah menjadi korban OBOR Cina, One Belt One Road.

Mari kita berdoa agar para Hakim MK itu berani mengatakan kebenaran. Berani menegakkan keadilan. Dan kejujuran tetap ada di hati mereka. Aamiin Ya Rabb. (*)

*Wartawan Senior