QS Al-Mudatsir

Oleh: Ihsan Faisal

MASA pandemi saat ini memberi ruang kepada kita untuk kembali merenung dan mengambil pelajaran dari sejarah Nabi Muhammad SAW. Usai menerima wahyu pertama, QS Al-Alaq: 1-5, Nabi Muhammad SAW sempat merasa takut dan bingung, hingga Allah menurunkan  wahyu QS Al-Mudatsir: 1-7.

Wahyu kedua ini merupakan jawaban sekaligus motivasi dari Sang Pemberi Motivasi kepada Nabi Muhammad agar bisa berbuat dan bertindak yang lebih baik lagi. Dalam makna yang lebih luas, awal surat Al Mudatsir mengandung pesan motivatif buat umat Nabi dalam menjalani kehidupan.

Pertama, qum fa andzir (bangunlah, lalu berilah peringatan!) Sikap bangun mengandung arti seseorang bisa berdiri dari posisi sebelumnya yang sedang duduk, bisa membuka mata dari keadaan sebelumnya yang tengah lelap tidur, atau dia sadar kembali setelah sebelumnya tidak sadarkan diri dan tidak bisa mengingat apa-apa. Perintah supaya bangun dengan kata lain memberikan maksud penting bahwa segala sesuatu yang hendak dilakukan harus dalam kondisi siap, dalam kondisi sadar dan penuh perhatian.

Orang yang bisa bangun itu artinya seseorang yang bisa meninggalkan dan mengubah kondisi dirinya dari aneka keterpurukan, kelemahan, kegamangan, dan kondisi tidak sadarkan diri. Aktifitas seseorang akan sangat terbatas ketika ia bekerja dalam kondisi duduk, tiduran, berbaring, bahkan tak sadarkan diri. Orang yang sedang tidur lalu ia ngomong, berjalan, dan sebagainya tidak akan disebut orang bekerja, tapi ia dianggap sedang mengingau, sedang mimpi dan sebagainya.

Setelah posisi kita siap siaga, berdiri penuh dengan kesadaran utuh, maka kewajiban berikutnya adalah memberikan peringatan kepada siapapun juga. Memberi peringatan bisa dilakukan kepada diri sendiri, keluarga, saudara, tetangga, karib kerabat, lingkungan yang lebih luas lagi, bahkan mungkin dunia pada umumnya.

Pemberian peringatan pada sesama merupakan sikap alami yang dimiliki manusia. Hal tersebut patut dijalankan karena hakikatnya manusia adalah makhluk yang sering lupa dan salah.

Kedua, warabbaka fakabbir (agungkanlah nama Tuhanmu). Mengagungkan nama Tuhan adalah bentuk dari sebuah keyakinan atau kepercayaan seorang manusia terhadap Tuhannya. Hal tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang kecil, lemah, dan tidak memiliki apapun juga. Tidak ada yang berhak diagungkan tentunya selain Dia. Keagungan-Nya pasti tidak ada yang bisa menandinginya. Keagungan-Nya pula yang menandakan masing-masing manusia memiliki potensi yang sama.

Mengawali segala tindakan dan perbuatan sehari-hari dengan mengucapkan nama Allah adalah bentuk nyata dari pengagungan-Nya. Tindakan itu cermin dari ta’dhim atas nama-Nya, ta’dhim atas kuasa-Nya, ta’dhim atas segala-Nya.

Ketiga, watsiyaabaka fathahhir (bersihkanlah pakaianmu). Pakaian ibarat simbol materi yang dikenakan dan dipakai seseorang. Memakainya secara terus menerus pasti akan merasakan kondisi kotor, lusuh, usang dan sebagainya. Membersihkan pakaian dalam arti perhatian kita terhadap kondisi fisik/materi pun perlu dilakukan.

Apa yang kita pakai, apa yang kita gunakan, apa yang kita manfaatkan semestinya harus mendapatkan perawatan (maintenance) yang baik. Karena sejatinya pula Tuhan sangat mencintai orang-orang yang bertaubat (bersih jiwa) dan orang-orang yang bersuci (bersih fisik).

Keempat, warrujza fahjur (tinggalkan segala amal yang jelek/dosa). Pada dasarnya memang manusia diberikan potensi baik (taqwa) dan potensi buruk (fujur). Keduanya saling berbenturan dan pada akhirnya dikembalikan pada keputusan yang diambil oleh manusia itu sendiri. Inilah makna bahwa diri manusia tidak akan lepas dari sikap khilaf dan salah. Namun sebaik-baik orang yang pernah berbuat salah adalah mereka yang mau kembali pada kesucian (tawwabun).

Meninggalkan segala perbuatan salah/jelek pada hakikatnya juga berarti meminimalisir potensi kecelakaan diri manusia. Kesucian diri akan mempengaruhi kekuatan diri manusia itu sendiri.  Semakin baik dan bersih akan semakin tajam kekuatan dan potensi seseorang manusia.

Kelima, walaa tamnun tastaktsir (jangan memberi dengan maksud ingin mendapatkan balasan yang lebih banyak). Sikap dermawan atau sosial yang baik bisa dalam bentuk rajin memberi, rajin menolong, dan sebagainya. Pemberian yang diberikan adalah hakikat kondisi hati seseorang. Hakikatnya bukan materi atau sisi kuantitas saja yang diperhatikan, tapi motivasi seseorang yang bisa sampai memberikan ‘sesuatu’ tersebut.

Hanya, pemberian yang dikeluarkan tidak mesti dibarengi juga dengan maksud ingin mendapatkan balasan yang lebih banyak lagi. Dalam bahasa sunda dikenal dengan sikap “toma.” Toma adalah sikap menunggu-nunggu pemberian dari orang lain, ingin dikasih, ingin diberi. Pemberian atau pertolongan yang diberikan, serahkanlah pada-Nya. Irhamuu man fil ardhi, yarhamukum man fis samaa-i (kasihilah yang ada di bumi, niscaya akan mengasihimu Dzat yang ada di langit).

Keenam, walirabbika fashbir (dan karena Tuhanmu, bersabarlah). Sikap sabar adalah alat berharga dan mahal untuk modal hidup manusia. Tanpa sabar, diri kita terkadang tidak bisa dikendalikan, tidak bisa dimanaje dengan baik. Tidak sedikit orang yang mempermasalahkan kesabarannya, menganggap kesabaran ada batasnya dan lain-lain. Padahal hakikatnya, kesabaran tidak ada batasnya, dia unlimited (tak berbatas). Hanya kata-kata dan sikap kita lah yang terkadang terbatas. Fa shabrun jamiil, maka sabar itu indah.

Semoga poin-poin yang tertera di QS Al-Mudatsir bisa menjadi bahan resolusi diri kita saat menghampiri tahun baru hijriyah 1442H ini terutama saat mengalami masa pandemi demi perbaikan di masa New Normal dan seterusnya. Aamiin. (*)

* Kepala Seksi Penyiapan Akomodasi Dityanhaj Luar Negeri.