RKUHP

Kastara.ID, Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menunda pembahasan dan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Padahal rencana awal, RKUHP ini akan disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI pada 24 September 2019 nanti.

Penundaan ini menurut Jokowi berdasarkan epertimbangan sebab banyak penolakan di masyarakat terkait keberadaan sejumlah pasal kontroversial. Misalnya, pasal pidana bagi pasangan kumpul kebo, pasal aborsi, hingga pasal penghinaan presiden yang dikritik karena akan berpotensi kriminalisasi.

Atas keputusan ini, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, sebagai upaya pemerintah untuk meredam gejolak di tingkat publik sehingga pemerintah punya waktu untuk berpikir, dan mengevaluasi.

Menurut Arya, keputusan penundaan pembahasan RKUHP itu tak lebih dari upaya untuk meredam gejolak di masyarakat. Sebab berbagai polemik muncul terkait pengesahan Rancangan Undang-undang di DPR belakangan ini turut berpengaruh pada tingkat kepercayaan terhadap Jokowi, apalagi setelah disahkan revisi UU KPK menjadi undang-undang.

Pengamat politik Universitas Padjajaran Firman Manan menilai, DPR mestinya juga mempertimbangkan banyaknya suara penolakan di masyarakat yang menjadi pertimbangan Jokowi memutuskan penundaan.

Sepakat dengan Jokowi, dua sekretaris jenderal parpol koalisi Jokowi, PPP dan Nasdem, telah menyatakan kesepahaman parpolnya atas keputusan presiden.

Sementara Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan, anggota dewan akan mempertimbangkan permintaan menunda pengesahan RUU KUHP tersebut.

Bamsoet mengatakan andai dalam Rapat Badan Perumus pada 23 September itu para pimpinan fraksi setuju menunda, maka pembahasan akan dilakukan lagi atas pasal-pasal yang dianggap masyarakat masih kontroversial.

Dari sisi masyarakat sipil mengusulkan agar Jokowi membentuk komite ahli pembaruan hukum pidana yang melibatkan semua elemen masyarakat. (rya)