LGBT

Kastara.id, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani meminta elit dan kader partai nasionalis dalam melihat peraturan daerah (perda) syariah hendaknya kembali pada kesepakatan bernegara Indonesia. Ketika  negara dibentuk, tokoh Islam seperti KH. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, dan KH Agus Salim setuju menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, salah satunya kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.

“Itu kesepakatannya adalah syariat Islam boleh diatur dalam peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945. Kesepakatan itu harus kita pegang, jangan kemudian ditolak. Yang ditolak itu kalau tidak ada dalam kesepakatan, contohnya mau mengganti dengan sistem khilafah. Itu kita tolak, karena tidak ada dalam kesepakatan bernegara kita,” ujar Arsul sebelum menghadiri Rapat Paripurna di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (21/11).

Hal itu dikatakannya menanggapi munculnya polemik terkait akan dikeluarkanya perda syariah, ada yang secara tegas menolak dan di sisi lain ada yang mendukung. Menurut legislator Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini, kalau ada dalam kesepakatan bernegara, tentu harus dihormati.

Ditegaskan Arsul, dalam memahami perda atau legislasi syariah, melihatnya jangan pada judul perda syariah. Di negara ini, legislasi syariah sudah banyak, seperti Undang-Undang (UU) Perkawinan, UU Wakaf, UU Haji, hingga UU Perbankan Syariah itu semua legislasi syariah. PPP juga mengusulkan RUU Larangan Minuman Beralkohol, itu juga legislasi syariah.

Legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah itu menambahkan, begitu juga kalau ada daerah yang memiliki perda larangan mengonsumsi minuman keras (miras), itu juga legislasi syariah. Kemudian perda larangan perjudian, itu juga legislasi syariah. Perda larangan pelacuran juga legislasi syariah.

“Jadi jangan tolak perda syariah karena judulnya perda syariah. Karena kalau bersikap seperti itu kita akan kembali terpolarisasi pada jaman sebelum merdeka. Padahal begitu negara RI berdiri, para tokoh bangsa yang agamis dan nasionalis itu sudah sepakat soal itu,” terangnya.

Terkait tuduhan diskriminatif, kata Arsul, itu masalah penerapan dan itu bisa dirumuskan. Di Aceh ada qonun jinayah, itu tidak berlaku bagi non muslim. Yang dicambuk semua orang muslim, kalau yang melakukan kejahatan non muslim dikirim ke penjara lewat peradilan biasa, sehingga tidak ada diskriminasi.

Meski demikian, usulan perda tersebut sebagai aspirasi politik tentu akan ada titik temu, ada jalan tengahnya. “Karena kalau menolak yang berkonten syariah, itu namanya a historis. Karena UU di negara ini sudah begitu banyak yang kontennya syariah Islam, cuma tidak disebut sebagai UU Syariah,” pungkasnya. (rya)