Waktu

Oleh: Jaya Suprana

AKIBAT merasa punya banyak waktu di masa karantina diri akibat Corona, saya tertarik untuk mempelajari apa sebenarnya yang disebut “waktu”. Terkesan bahwa apa yang disebut sebagai waktu merupakan benda atau tak-benda yang banyak mengandung paradoksa. Misalnya, saya merasa tahu bahwa saya tahu apa yang disebut waktu namun paradoksanya saya tidak pernah mampu mengungkap makna apa yang sebenarnya disebut waktu.

Peribahasa “waktu adalah uang” secara logika jelas paradoksal sebab tidak ada “uang adalah waktu”. Sementara yang disebut uang juga tidak jelas apakah dalam bentuk mata uang atau komoditas atau data elektronis di catatan perbankan.

Mereka yang mengaku tidak punya waktu seharusnya terlebih dahulu membuk tikan bahwa apa yang disebut waktu memang benar-benar ada sehingga bisa dimiliki atau tidak dimiliki. Bukan sekadar dianggap ada atau bahkan diada-adakan.

Memang jam atau arloji atau hape menampilkan catatan waktu misalnya pukul 12, namun apakah ada yang mampu meski mau membuktikan bahwa pada titik waktu tersebut memang benar-benar pukul 12? Belum lagi jika memperhitungkan kenyataan bahwa ada zona waktu yang saling beda waktu di planet bumi ini.

Tahukah Anda mengenai jam apa yang paling tepat-waktu di alam semesta ini? Apakah jam quartz atau jam nuklir atau jam molekular atau jam kuantum? Atau jam biologis?

Berdasar kenyataan bahwa tidak ada jam apa pun yang bisa dijamin tepat waktu dalam arti tepat yang setepat-tepatnya dengan realita waktu yang sebenarnya tidak-ada maka dapat diyakini bahwa jam paling tepat-waktu adalah jam dengan angka 1 sd 12 yang kebetulan rusak. Sebab sementara jam apa pun mustahil dipastikan tepat-waktu dengan waktu yang sebenarnya tidak-ada, maka jam dengan angka 1 sd 12 dijamin pasti dua kali sejak matahari terbit sampai dengan terbenam sampai terbit kembali dapat diyakini tepat-waktu. Jika tidak percaya silakan coba sendiri.

Satu di antara sekian banyak tes kecerdasan MENSA sebagai klab orang-orang supra cerdas adalah teka-teki deret angka 1 lalu 12 lalu 1 lalu 1 lalu 1 lalu 2 lalu 1 lalu berapa. Pertanyaan deret angka itu dengan mudah dapat dijawab bukan oleh orang super cerdas namun orang yang tahu urutan bunyi lonceng jam raksasa yang berada di menara Big Ben di London yang dimulai pada pukul 11.30 waktu London di mana Greenwich berada yang dipaksakan menjadi patokan waktu seluruh dunia sebagai G.M.T.

Bahwa di dalam kalender ada bulan September yang semestinya bulan ke tujuh namun ternyata ke sembilan senasib dengan Oktober, November, Desember dan bahwa ada bulan berhari 30 tapi ada pula yang 31 bahkan ada yang 28 yang empat tahun sekali mendadak 29 merupakan indikasi bahwa meski manusia tidak mampu menghitung waktu (yang tidak jelas antara ada dengan diada-adakan) namun memaksakan diri untuk menghitung waktu.

Stephen Hawkings menyatakan bahwa “waktu” adalah sejenis angka yang bisa digunakan untuk menghitung interval “waktu” di antara dua peristiwa bahkan sempat menulis buku  A Brief History of Time dilengkapi kata Brief demi menegaskan bahwa sejarah waktu adalah jauh lebih panjang sebab masih belum bisa dipastikan (kecuali dipaksakan) tentang kapan sejarah waktu berawal.

Namun terlepas dari serba ketidak-pastian, saya dapat memastikan bahwa lagu Menghitung Hari merupakan mahakarya Melly Guslaw nan indah-permai. Serial film Back To The Future lincah bermain dengan memaju-mundurkan waktu tanpa kejelasan waktu yang mana yang dimajukan dan waktu yang mana yang dimundurkan selaras dengan keyakinan asumtif Hawkings berdasar keyakinan imajinatif Einstein tentang kenisbian ruang-waktu bahwa di masa depan pasti akan ada mesin-waktu.

Masa lalu adalah masa yang sudah lewat dipandang dari masa kini sementara masa kini terus bergerak ke masa depan untuk menjadi masa lalunya masa depan.

Menakjubkan absurditas ucapan Selamat Ulang Tahun selama belum ada mesin waktu yang mampu mengulang waktu dan makin menjadi tua kok diberi ucapan selamat! Selamat atas makin dekat saat ajal? Namun saya tidak berhasil mengganti ucapan Selamat Ulang Tahun dengan Selamat Tambah Usia sebab lagu Selamat Ulang Tahun sudah terlanjur mengaprah di peradaban masyarakat yang berbahasa Indonesia. Meski lebih benar namun istilah Happy Birthday juga kurang akurat karena yang di-happy-kan sebenarnya bukan cuma day tetapi juga month.

Sebenarnya saya masih cukup punya waktu untuk lebih lanjut menulis naskah tentang waktu ini, namun saya tidak berani memaksakannya sebab belum tentu Anda suka. Juga belum tentu Anda punya waktu untuk lebih lanjut membaca naskah ini. (*)