CPO

Kastara.id, Jakarta – Komite IV DPD RI mempertanyakan penggunaan pungutan dana ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang dinilai belum mampu mensejahterakan para petani sawit. Pertanyaan diajukan oleh sejumlah anggota Komite IV DPD RI dalam rapat bersama dengan Direktur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) Dono Bustami dan beberapa pihak terkait lainnya.

Ketua Komite IV DPD RI Ajiep Padindang mengkritisi mengenai pemberian bantuan subsidi kepada perusahaan sawit yang tidak sampai kepada petani sawit. Pungutan dana tersebut hanya dinikmati oleh industri sawit saja, bukan para petani sawit. Padahal, paparan BPDP-KS menyebutkan alokasi bantuan peremajaan yang diberikan kepada perkebunan swasta sebesar 53%, ke petani swadaya 41% dan 6% kepada lahan sawit yang dikelola oleh BUMN.

“Perusahaan perkebunan kelapa sawit menerima subsidi besar tapi petani kelapa sawit hanya mendengar saja dan tidak mendapatkan bantuan. Saya harap pemerintah bisa lebih fokus kepada kesejahteraan petani sawit,” ujar Ajiep.

Di kesempatan yang sama, Senator Jawa Tengah Bambang Sadono mempertanyakan penggunaan dana pungutan ekspor yang sudah terhimpun dalam jumlah besar. Karena, asal mula pembentukan pungutan dana ekspor CPO adalah anjloknya harga CPO yang membuat nasib petani menjadi buruk.

“Jadi yang mau ditolong itu banyak sekali, baik petani sawit, sektor bio diesel. Padahal sederhananya, fokusnya adalah menyelamatkan petani sawit. Nah kalau uangnya banyak disimpan itu buat apa sampai Kemenkeu bisa pinjam uang dana pungutan dengan jumlah yang besar sampai 2 Triliun,” paparnya.

Sementara itu Senator Papua Barat Chaidir Djafar, menanyakan soal lahan sawit yang dikelola oleh swasta namun peremajaan lahannya menjadi tanggung jawab negara.

“Perusahaan perkebunan kelapa sawit itu beberapa dikelola negara dan ada yang milik swasta, karena kalau di papua barat itu kita tanya mereka jawaban itu milik investor dari China dan negara luar Indonesia. Jadi apakah kita juga bertanggung jawab kalo peremajaan itu dilakukan atas dampak kegiatan kelapa sawit investor dari luar negeri,” jelasnya.

Ia berharap, ke depan penggunaan dana pungutan ini dan lebih transparan dan tepat guna sehingga dapat mensejahterakan para petani sawit seperti cita-cita awal dari diberlakukannya pungutan dana ekspor CPO.

Dalam kesempatan tersebut, Direktur Badan BPDP-KS, Dono Bustami mengatakan bahwa total dana pungutan ekspor CPO mencapai 1 triliun perbulannya. Sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2017 total  pungutan dana mencapai 32.3 triliun.

“Soal penghimpunan dana itu sekitar 1 Triliun tiap bulannya, awalnya pungutan dana ini adalah terjadinya harga jual sawit yang rendah pada tahun 2015 yaitu 500 dollar per ton, sehingga diharuskan ada pungutan tersebut untuk membantu petani sawit,” terangnya.

Ia menambahkan, pungutan dana ekspor sepanjang 2015 itu sebesar Rp 6.7 T karena tidak berlaku full year. Untuk tahun 2016 nilai pungutan mecapai Rp 11.3 T dan di 2017 mencapai Rp 14.284 T.

“Jika ditotal dana yang sudah terkumpul hingga saat ini adalah 32.3 Trillun rupiah, dimana belum termasuk beban operasional kita, karena dana yang ada dibagi dua 1.25 % untuk manajemen fee, selebihnya 98,75 Triliun rupiah itu dana kelolaan yang juga kami salurkan sebagian besar untuk program biodiesel dan peremajaan lahan sawit,” pungkasnya.

Tentang peremajaan lahan swasta, Dono Bustami menjelaskan pihak yang dibantu oleh BPDP-KS adalah yang memenuhi persyaratan. “Peremajaan lahan ada 53% petani swasta, 41% petani swadaya, jadi siapa saja yang memiliki lahan kelapa sawit dan memenuhi kategorinya maka dibantu peremajaan lahannya,” terang Dono. (mar)