Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.

KERICUHAN pembubaran massa aksi Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) terus berlanjut hingga Rabu (21/5) dini hari tadi. Massa yang berada di sekitar Bawaslu dipukul mundur ke wilayah Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Dalam peristiwa ini, satu orang bernama Abdul Aziz, Laskar FPI dari Pandeglang, Banten, dikabarkan meninggal dunia. Info ini beredar berdasarkan keterangan dari ormas FPI melalui akun twitternya.

Sementara itu, pihak Rumah Sakit Budi Kemuliaan juga membenarkan adanya korban tewas akibat tertembak di depan Pasar Blok A Tanah Abang. Korban tewas itu bernama Farhan Syafero (30) beralamat tinggal di Kampung Rawakalong, Kelurahan Grogol, Kota Depok.

Korban jatuh terjadi dalam kendali tindakan Kepolisian yang terus berupaya membubarkan massa di sekitar gedung Bawaslu. Polisi bahkan mengejar massa hingga ke daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Mengingat aksi unjuk rasa di Bawaslu telah memakan korban jiwa, kami perlu menyampaikan tanggapan hukum.

Pertama, setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan lisan dan/atau tulisan secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 e Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hal mana juga ditegaskan dalam pasal 2 UU nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum, ditegaskan:

“(1) Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, barbangsa, dan bernegara”.

Kedua, penting untuk dicermati ketentuan Pasal 28 Perkapolri No. 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di muka umum, di mana dinyatakan:

“Dalam melakukan tindakan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, antara lain:
a. tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan tindakan kekerasan, dan menghujat;

b. keluar dari ikatan satuan atau formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;

c. tidak patuh dan taat kepada perintah penanggungjawab pengamanan di lapangan sesuai tingkatannya;

d. tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;

e. tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM; dan

f. melakukan perbuatan lain yang melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan.

Ketiga, bahwa jika dalam proses penyelenggaraan, pelayanan, pengamanan, dan penanganan perkara penyampaian pendapat di muka mum, terdapat dugaan tindak pidana, maka kepolisian wajib memperhatikan ketentuan Pasal 29, yakni:

“(1) Penyidikan perkara penyampaian pendapat di muka umum dapat dilakukan dengan prosedur:
a. penindakan tilang; b. tindak pidana ringan; c. penyidikan perkara cepat; dan d. penyidikan perkara biasa.

Keempat, jatuhnya korban jiwa juga korban luka akibat aktivitas unjuk rasa di Bawaslu di antaranya disebabkan oleh tindakan Polisi yang terus berupaya membubarkan massa di sekitar gedung Bawaslu. Polisi bahkan mengejar massa hingga ke daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Padahal, berdasarkan pasal 28 perkap No. 7/2012, Kepolisian dalam melakukan tindakan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, antara lain: … tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan tindakan kekerasan, dan menghujat atau tindakan aparat yang melampaui kewenangannya.

Oleh karenanya, kepolisian wajib bertanggung jawab secara penuh atas jatuhnya korban jiwa dan luka akibat penanganan unjuk rasa di Bawaslu, baik jatuhnya korban luka dan meninggal dunia diakibatkan hal lain atau terlebih lagi apabila korban meninggal dunia dan luka kelak terbukti akibat tembakan senjata dari aparat kepolisian.

Seyogyanya kepolisian wajib memperhatikan ketentuan pasal 28 Perkapolri No. 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di muka Umum. Kepolisian memiliki tugas untuk melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat.

Jatuhnya korban jiwa dan luka patut diduga akibat penanganan unjuk rasa di Bawaslu oleh kepolisian yang tidak taat prosedur dan undang-undang. Karenanya, tindakan yang demikian sangat disayangkan dan berpotensi melanggar hukum dan HAM. (*)

*Ketua LBH Pelita Umat