Puasa

Oleh: Kamaruddin Amin

PENYAIR sufi besar awal abad 13, maulana Jalaluddin Rumi dalam magnum opusnya yang sangat terkenal (Matsnawi) menggambarkan puasa sebagai hidangan rohani, hidangan rahasia, hidangan langit, nutrisi rohani yang dibutuhkan oleh jiwa untuk menpertajam spiritualitasnya. Dalam hadis dikatakan puasa sebagai perisai (al-shiyaamu junnatun), puasa adalah bisnis tuhan dengan hambanya, dalam al-Quran, puasa adalah medium untuk menggapai status taqwa.

Berpuasa di bulan Ramadan hakekatnya melakukan perjalanan/pendakian menuju pertemuan spiritual dengan sang Khaliq (farhatun ‘inda liqaai rabbih). Amaliah Ramadan yang dilakukan adalah bagian dari anak tangga menuju puncak. Tidak sedikit yang gagal namun semoga banyak yang sampai ke tujuan akhir, bertemu dengan Yang Mahamulia dengan merasakan kehadiran Yang Mahahadir (omni present). Puasa adalah proses penyamaan frekwensi hati dengan sinyal-sinyal Ilahi Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Tadarrus al-Quran, berdzikir, berdoa, qiyamul lail, tahajjud, bertafakkur, itikaf (kontemplasi spiritual) adalah fitur-fitur yang dapat mengantarkan kita semakin dekat kepada-Nya. Puasa dengan segala rangkaian amaliah Ramadan sarat dengan bobot dan perangkat spiritual yang menjadi kendaraan hamba menemui Tuhannya.

Puasa adalah sejenak merasakan kehambaan genuine kita. Sejenak menghentikan rutinitas duniawi untuk konsentrasi merasakan, mengalami kehadiran Yang Mahahadir dalam Ramadan ini.

Kualitas amaliah ini menentukan jarak tempuh perjalanan kita. Lailatul qadar yang didamba oleh para pendaki ini bukan sesuatu yang given tanpa usaha, ia adalah buah dari kerja keras sepanjang jalan menuju kepada-Nya. Ia hanya bisa ditemukan oleh jiwa-jiwa suci yang memiliki kualitas resepsi (penerimaan) yang tinggi yang mampu menangkap sinyal sinyal-Nya.

Berpuasa adalah menghidupkan, menyegarkan potensi lahut yang inheren dalam kemanusiaan kita, mengopname jiwa yang telah terinveksi virus kehidupan hedonistik, menstabilkan tatakelola organ tubuh dan organ spiritual kita, memecah gumpalan hawa nafsu yang telah membatu.

Walau puasa adalah rahasia tuhan dengan hamba yang berpuasa, puasa yang berkualitas akan mentransformasi spiritualitas pelakunya yang dampaknya akan mewujud dalam dimensi spiritual transendental dan dimensi sosial sekaligus. Mereka akan selalu merasakan kebersamaan dan kehadiran Tuhan (Yang Mahahadir) di setiap langkah dan tarikan nafasnya (QS, al Baqarah 186).

Kesadaran seperti ini akan menjadikannya selalu terproteksi secara alamiah dari perbuatan yang melenceng. Refleksi perilakunya selalu memantulkan divinely inspired values (pengasih, penyayang, pemaaf, pemurah), karena perilakunya adalah refleksi kebeningan dan kesucian jiwanya yang baru saja di-set up oleh puasa Ramadan.

Mereka memiliki kepekaan sosial. Mereka akan melihat orang miskin lemah sebagai kekasih tuhan yang akan mereka bantu setulus tulusnya tanpa kepentingan apapun. Telinga dan mata batinnya selalu mendengar suara hati orang orang lemah dan hatinya yang bersih selalu menuntunnya untuk mengulurkan tangannya untuk membantu.

Semoga puasa kita tahun ini akan mempertemukan kita dengan Allah di hari kemudian. Amin ya Rabbal ‘alamin. (*)

* Dirjen Bimas Islam.