Pengantin Pesanan

Kastara.ID, Jalarta – Dalam kurun waktu 2012-2019, sejumlah praktik Pengantin Pesanan terjadi di negara Tiongkok. Disinyalir praktik tersebut merupakan modus baru dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang korbannya banyak dari kalangan perempuan Indonesia.

Tidak mau kejadian serupa terulang, Kementerian Agama melalui Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam siap bekerja sama dengan instansi terkait untuk mencegah terjadinya praktik pengantin pesanan tersebut.

“Pada prinsipnya kami dan pimpinan kami di Kemenag siap bekerja sama untuk mencegah terjadinya Pengantin Pesanan yang jelas akan merugikan warga negara Indonesia,” kata Kepala Seksi Bina Kepenghuluan Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam, Burhanuddin, dalam rapat koordinasi di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Jakarta (21/6).

Burhanuddin menuturkan, kerja sama yang akan dilakukan nantinya dalam bentuk kegiatan Kampanye Penyadaran Publik yang diinisiasi oleh Kemlu dibantu oleh Ditjen Bimas Islam Kemenag serta Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri).

Burhanuddin menerangkan, peran Kemenag nantinya untuk menekankan kepada aparatur di KUA Kecamatan agar selektif dan mewaspadai setiap ada pengurusan dan penerbitan dokumen untuk keperluan ke luar negeri, terutama ke negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Sebelumnya Kepala Subdit Kawasan 4 Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kemlu Tony Wibawa mengatakan, pihaknya telah menangani sebanyak 65 WNI yang terindikasi menjadi korban TPPO dengan modus Pengantin Pesanan ke negara RRT.

Dalam melakukan kejahatan tersebut, kata Tony, pelaku melakukan pemalsuan terhadap dokumen biodata, Surat Nikah, Surat Keterangan Lajang, dan Surat Ijin Nikah dari orang tua.

“Pemalsuan mereka lakukan di KUA dan kantor Dukcapil yang terkadang bukan di wilayah domisili korban,” papar Tony.

Tony yang membawahi negara-negara Asia Fasipik dan Timur Tengah Non Teluk ini menjelaskan, Pengantin Pesanan adalah mengawinkan perempuan WNI dengan laki-laki warga negara RRT yang dilaksanakan di negara tersebut secara ilegal. Banyak perempuan Indonesia bersedia dibawa RRT karena dijanjikan akan memperoleh hidup bahagia dan sejahtera di negeri tirai bambu.

Lebih lanjut, Tony menyampaikan, sesampai di negeri Cina, perempuan WNI memang menikah dengan warga RRT. Tetapi segala hal yang dijanjikan hanya kebohongan belaka. Bukan kebahagian dan kesejahteraan yang diperoleh, mereka malah mendapat perlakuan kekerasan.

“Ternyata di Cina mereka menikah dengan laki-laki yang hidup pas-pasan, banyak yang pekerja kasar. Gaji suami tidak cukup membiayai hidup keluarga. Akhirnya, si istri dipaksa ikut mencari nafkah. Mengerjakan apa saja, sekalipun yang haram, seperti bekerja di klub malam dan bisnis esek-esek,” terang dia.

Tony menengarai hal ini ada kaitannya dengan kebijakan Satu Anak di negeri tirai bambu tersebut yang dimulai sejak tahun 1970-an. Pemerintah Cina melarang warganya memiliki lebih dari satu anak.

“Kemudian juga terkait dengan budaya patriarki di mana mereka merasa terhormat jika memiliki anak laki-laki,” tambahnya.

Sehingga, kata Tony, dalam perjalanannya hingga saat ini, jumlah kaum adam jauh lebih banyak dari kaum hawa yang dampaknya kemudian laki-laki yang cukup usia menikah kesulitan melamar perempuan karena jumlah yang terbatas dan mahalnya mahar.

Akhirnya, banyak pria di negeri Cina memperistri perempuan yang bukan warga RRT. “Sebelumnya, mereka banyak menikahi perempuan warga negara tetangga keturunan Tionghoa seperti Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam,” sebut Tony.

Namun saat ini, ujar Tony, mereka merambah ke Nusantara. Pada awalnya masih menggaet perempuan Indonesia keturunan Tionghoa yang hidup kurang mampu dan berpendidikan rendah seperti dari daerah Kalimantan Barat. Namun semakin ke sini, mereka juga tertarik untuk menikahi perempuan Indonesia dari suku lainnnya seperti Sunda di Jawa Barat.

“Untuk Jawa Barat, ada 12 kasus yang sudah kami tangani,” ungkap Tony.

Di Jawa Barat, kata Tony, ada satu kasus yang berhasil digagalkan dan sudah mendapat vonis dari pengadilan negeri, yakni hukuman 9 tahun penjara bagi agen yang berasal dari RRT dan 8 tahun bagi agen yang ada di Indonesia.

Ketika ditanya terkait peran pemerintah RRT dalam penanganan masalah ini, Tony mengakui hal tersebut sulit dilakukan mengingat kebijakan pemerintah RRT yang menganggap perkawinan tersebut ilegal, sehingga pemerintah tidak mau mencampurinya.

Rencananya apabila disetujui oleh masing-masing kementerian, kegiatan Kampanye Penyadaran Publik terkait pencegahan Pengantin Pesanan kerja sama antara Kemlu, Kemenag dan Kemdagri akan dilaksanakan pada Juli di Provinsi Kalimantan Utara dan Provinsi Jawa Barat. Pesertanya Kepala KUA, Dinas Dukcapik, aparatur kelurahan/desa dan sejumlah LSM pemerhati perlindungan perempuan dan anak. (rya)