Kekerasan Perempuan

Kastara.id, Jakarta – Baiq Nuril, pegawai honorer di SMAN 7 Nusa Tenggara Barat, yang ramai diperbincangkan dihadirkan dalam Diskusi Empat Pilar MPR di Media Center MPR/DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta (21/11). Kehadiran Baiq Nuril menyita perhatian wartawan parlemen yang mengikuti diskusi “Perlindungan Perempuan dan Ancaman Kekerasan Seksual”.

Dalam diskusi Empat Pilar MPR ini, Baiq Nuril menyatakan akan berjuang bersama perempuan-perempuan lain yang mengalami kekerasan seksual namun tidak mampu bersuara. “Saya akan berjuang untuk wanita-wanita dan perempuan-perempuan di Indonesia agar tidak ada lagi kekerasan seksual terjadi pada perempuan. Segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” katanya.

Baiq Nuril adalah pegawai honorer di SMAN 7 NTB. Ia divonis Mahkamah Agung (MA) hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta. Nuril dianggap bersalah melanggar UU ITE karena menyebarluaskan konten elektronik yang bemuatan asusila. Dokumen elektronik itu adalah rekaman percakapan telepon dari Kepala Sekolah SMAN 7 kepada Baiq Nuril yang dianggap berisi muatan pornografi. Baiq Nuril menyimpan rekaman percakapan itu karena menganggap telah mengalami pelecehan seksual dari kepala sekolah.

Selain Baiq Nuril, diskusi Empat Pilar MPR menghadirkan narasumber anggota Fraksi PDI Perjuangan MPR Rieke Diah Pitaloka, Kuasa Hukum Baiq Nuril Joko Jumadi, Komisioner Komnas Perempuan Masruchah, Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo dan Askari Razak.

Rieke Diah Pitaloka mengungkapkan bahwa Komnas Perempuan sudah menyatakan bahwa Indonesia saat ini dalam keadaan darurat kekerasan seksual. Dalam kasus Baiq Nuril, Rieke menyebut penegak hukum seharusnya menggunakan prinsip kausalitas, sebab-akibat. Artinya, bukan hanya dilihat dari sisi akibat, tetapi juga harus melihat sebabnya. “Seharusnya MA melihat apakah benar terjadi kekerasan seksual terhadap korban Baiq Nuril,” ujarnya.

Karena itu Rieke yang sering disapa Oneng, ini mendukung Baiq Nuril untuk melaporkan adanya dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Kepala Sekolah SMAN 7 ke Polda NTB. “Sehingga persoalan kekerasan seksual ini seharusnya menjadi perhatian dari semua pihak. Kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa saja,” kata anggota Komisi VIII DPR ini.

Rieke menyebutkan pentingnya untuk segera disahkan revisi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini sedang dibahas Komisi VIII DPR. “Agar ada kepastian hukum,” tegasnya.

Komisioner Komnas Perempuan Masruchah sependapat dengan Rieke Diah Pitaloka. Menurut Masruchah, saat ini banyak kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan di negeri ini. Karena itu Komnas Perempuan dan gerakan masyarakat sipil telah mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sejak tahun 2015.

“Kami meminta RUU itu menjadi RUU prioritas. Sejak April 2017, Komisi VIII sudah ditugaskan untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena faktanya kekerasan seksual di Indonesia sudah tidak bisa ditolerir lagi,” ujarnya.

Dia menambahkan, dari data Komnas Perempuan tahun 2001–2011, setiap hari setidaknya terjadi kekerasan seksual terhadap 35 perempuan. Artinya, setiap dua jam terjadi kekerasan seksual terhadap tiga perempuan. Data ini ibarat gunung es karena banyak korban yang lebih memilih diam dan tidak melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya.

“RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting dibahas segera mungkin karena kasus pelecehan seksual meskipun tidak bersentuhan fisik dalam kasus Baiq Nuril, namun kekerasan verbal termasuk kekerasan seksual. Kalau sudah ada UU Penghapusan Kekerasan Seksual, maka perlindungan terhadap korban dan pemenjaraan bagi pelaku memiliki pijakan hukum,” katanya. (rya)