UKI

Kastara.id, Jakarta – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menengarai ada dua arus besar yang menggerus jatidiri bangsa, yakni globalisasi dan disrupsi teknologi.

“Ada dua arus besar di zaman ini yang membuat kita bisa kehilangan jatidiri sebagai sebuah bangsa besar yang memiliki banyak keistimewaan,” kata Menag Lukman Hakim Saifuddin saat menyampaikan keynote speech pada Seminar Nasional dan Call For Papers mengusung tema “Revitalisasi Indonesia Melalui Identitas Kemajemukan Berdasarkan Pancasila” di Gedung William Suryajaya, Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Jakarta Timur, Kamis (22/11).

Dijelaskan Menag, arus besar yang pertama adalah globalisasi. Era global memungkinkan setiap bangsa di belahan mana pun dapat saling berhubungan. Satu negara dengan negara lain sudah seperti tanpa batas (borderless).

“Globalisasi menawarkan keterbukaan, ketersambungan, dan keleluasaan. Namun, di antara tawaran menarik itu tersembunyi ancaman berupa kehilangan fokus, disorientasi, pelemahan imun, insomnia, dan rendahnya pengendalian diri,” kata Menag.

Bagi Menag, gegar budaya itulah yang terjadi ketika ancaman globalisasi datang tanpa disikapi dengan tepat. Gejala transnasional berkembang biak karena banyak kaum terdidik yang mengalami gegar budaya sehingga mudah terpapar ideologi yang berbeda dengan karakteristik bangsa.

Lalu, lanjut Menag, karena kehilangan kontrol diri maka pihak tertentu mudah saja menyetirnya untuk upaya pemenangan hegemoni ideologi ataupun kepentingan lainnya seperti politik dan bisnis.

Menag menilai, kelompok terpapar inilah yang kemudian secara tak sadar menjadi pemasar ideologi transnasional ke segala penjuru. Gejala transnasional di sini bukan berarti semata hanya pada ideologi agama tapi juga ideologi lain seperti kapitalisme, permisifisme, dan sebagainya.

Arus besar kedua adalah era disrupsi teknologi. Menurut Menag, Revolusi teknologi komunikasi informasi membawa banyak hal, semisal, inovasi perangkat berbasis kecerdasan artifisial, sistem digital, dan realitas virtual.

“Semua teknologi itu mampu mempermudah pekerjaan, memangkas mata rantai, hingga mengubah pola kerja, sehingga mengikis banyak profesi. Ini membuat orang kehilangan soul (jiwa) terhadap pekerjaan sesuai hobinya,” papar Menag.

Menag Lukman mencontohkan, ketika semua hal dapat dikerjakan dalam satu genggaman gadget dan kemudian sibuk karenanya, maka orang kehilangan hubungan manusiawi dengan sesamanya. Menjadi fenomena umum, dua orang duduk berhadapan di satu meja, tapi fokusnya ke peranti masing-masing nyaris tiada komunikasi yang sirkuler dan sejiwa.

“Padahal dari situlah terbangun nilai-nilai kemanusiaan dan terjaga identitas kebangsaan kita. Gegar teknologi inilah yang terjadi saat piranti-piranti canggih justru menjauhkan hubungan antar-manusia dan melepas pertautan antar-person, meski secara fisik kita berdekatan dan berdampingan,” imbuh Menag.

“Mari kita mengenal kembali jatidiri bangsa melalui identitas, artefak, produk kebudayaan, literatur, dan sebagainya yang berhubungan dengan ke-Indonesia-an kita. Caranya, memperbanyak dialog untuk melapangkan dada dan menumbuhkan literasi untuk meluaskan pikiran,” ajak Menag.

Strategi Kebudayaan

Fenomena ini mengingatkan Menag pada “Strategi Kebudayaan”. Istilah tersebut sudah cukup lama tidak diperbincangkan. “Sempat ramai pada 1978, istilah strategi kebudayaan nyaris tak terdengar lagi hingga kini, di era digital yang bisa menjadi arena pertarungan kebudayaan,” kata Menag.

Bagi Menag, miskinnya literasi yang berujung gegar budaya dan gagap teknologi membuat jagat sosial media sebagai produk kebudayaan, justru dipenuhi hoax dan konten negatif lain yang kontraproduktif bagi kemajuan peradaban. Oleh karena itu, menurut Menag Lukman, strategi kebudayaan penting untuk diperbincangkan kembali. Sebab, semua negara maju menggunakannya sebagai cara menaikkan kualitas dan kapasitas bangsanya. Mereka mengembangkan kebudayaan untuk dikaitkan dengan pembangunan ekonomi yang berujung peningkatan kesejahteraan rakyat.

“Amerika misalnya menggunakan pola penciptaan pasar untuk memacu orang agar meningkatkan kompetensi untuk memenangi kompetisi. Jerman menggunakan pola mekanik dengan vokasi yang melahirkan ahli-ahli teknik. Inggris dan Australia mengembangkan konsep community development. Dan, Korea menjadikan budaya pop sebagai kiblat baru pengembangan ekonomi berbasis kesenangan anak muda,” kata Menag mencontohkan.

Dijelaskan Menag Lukman, bangsa Indonesia juga punya “budaya religi” yang dapat dikembangkan sebagai sektor penting dalam pembangunan ekonomi, misalnya pariwisata religi (semua agama) dan industri halal (untuk Islam). Sayangnya, kita justru ketinggalan dengan Thailand yang terlebih dulu main di wilayah itu. “Penyebabnya adalah kita kehilangan kontrol karena gagal mengantisipasi globalisasi dan disrupsi inovasi,” ulang Menag.

Untuk itu, dinilai Menag Lukman, sekaranglah saatnya kembali kepada Pancasila yang harus dijadikan sebagai paradigma pembangunan; anggapan dasar yang merupakan keyakinan yang berfungsi sebagai acuan atau pedoman dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil pembangunan. Itu artinya, pembangunan ekonomi harus dibarengi civic culture atau kultur kewarganegaraan.

“Kemajemukan harus menjadi modal dan bukan penghambat kemajuan,” kata Menag.

Dikenang Menag Lukman, tahun lalu, tepatnya 1 Juli 2017, terjadi dialog antaragama masyarakat Indonesia di Eropa yang melahirkan Deklarasi Roma. Deklarasi yang melahirkan 8 butir kesimpulan dialog yang berisi kesepakatan bahwa kemajemukan agama adalah anugerah Tuhan. Indonesia adalah rumah bersama, kerukunan beragama Indonesia adalah rujukan dunia, saling pengertian perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, mengharapkan agama tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat, dan mengimbau semua agama menampilkan keterbukaan dalam semangat persaudaraan keimanan, keindonesiaan, dan kemanusiaan.

Lalu, lanjut Menag pada awal November lalu, Kementerian Agama melahirkan Permufakatan Yogya antara agamawan dan budayawan dalam merespons disrupsi di segala bidang. “Saya berharap forum seminar ini dapat menghasilkan gagasan konkret untuk menindaklanjuti hasil-hasil dialog semacam itu,” pungkas Menag. (put)