Hari Kebangkitan Nasional

Oleh: Saiful Maarif

DUA tahun pandemi Covid-19, pendidikan Islam Indonesia mengalami efek langsung dalam konteks daya jangkau, akses, dan akseptabilitas pembelajaran. Secara umum, pandemi Covid-19 menghadirkan problem ekonomi, kesempatan kerja, efek keberjakarakan sosial, dan berbagai masalah lainnya.

Di luar itu, pendidikan Islam Indonesia tetap menghadapi pandangan minor dan negatif sebagai lembaga pendidikan yang kelas dua dan kampungan. Semangat Hari Kebangkitan Nasional seyogianya mampu menjadi daya dorong yang kuat terhadap perlunya langkah bersama insan pendidikan Islam untuk bangkit dan mengatasi beragam masalah yang dihadapi.

Kebangkitan pendidikan yang bercirikan Islam Indonesia menjadi sebuah keniscayaan karena beberapa hal. Pertama, Indonesia adalah negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia. Kedua, Indonesia memiliki jumlah lembaga pendidikan Islam terbesar di dunia. Ketiga, Indonesia memiliki ormas Islam (Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya) dengan jumlah anggota yang juga terbesar di dunia. Dengan demikian, Pendidikan Islam Indonesia adalah pihak yang paling otoritatif dalam mendorong kebangkitan dimaksud.

Keempat, kebangkitan sebagai dampak kondisi pandemi. Kondisi pasca-pandemi Covid-19 menjadi faktor pendorong lain upaya akselerasi dan kepeloporan kebangkitan pendidikan yang dimaksud. Eskalasi dan dampak pandemi covid-19 telah menjadi tantangan global yang memerlukan semangat dan karakter kebangkitan yang kuat. Dalam upaya dan semangat demikian, harus dipahami bahwa nilai pendidikan Islam mampu menjadi penopang tata nilai yang dibutuhkan.

Pasalnya, pendidikan Islam lekat dengan pentingnya penamaan karakter Islami siswa yang diperlukan dalam merepons tantangan individu maupun problem kebangsaan. Hal demikian menjadi keniscayaan karena pada dasarnya pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, budi pekerti, moral, dan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari.

Jalan Baru dan Identitas Asal

Meski menghadapi tantangan problem dampak pandemi dan anggapan stereotipikal sebagai lembaga pendidikan terbelakang, nyatanya pendidikan Islam dan pendidikan yang bercirikan Islam Indonesia terus menapak prestasi dan menunjukkan eksistensi dalam berbagai bentuknya.

Wajah pendidikan yang bercirikan Islam Indonesia menempuh jalan baru saat Muhammadiyah membuka perguruan tinggi pertamanya di luar negeri, yakni di Malaysia pada 2021 dan Australia pada awal 2022. Langkah ini bukan saja menunjukkan pendidikan yang bercirikan Islam Indonesia telah go international, namun juga keberanian untuk ke luar dari zona nyaman “kandang” sendiri.

Di dalam negeri, performa lembaga pendidikan Islam juga serentak membaik pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Beragam dukungan pemerintah dan sinergi dengan berbagai pihak terkait mampu memastikan peningkatan kualitas sarana-prasarana dan dukungan pengembangan sumber daya manusia di dalamnya. Tidak kalah penting adalah dukungan dan penguatan nilai wasathiyah (moderatisme) pada lingkup Pendidikan Islam.

Nilai-nilai wasathiyah (moderatisme) menjadi warna pendidikan Islam yang kuat digaungkan di dalam negeri, terutama oleh Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama memimpin, bersama ormas Islam lainnya, implementasi nilai moderatisme dalam peri kehidupan berbangsa Indonesia.

Kombinasi perbaikan performa pendidikan Islam di berbagai lini, internasionalisasi pendidikan bercirikan Islam Indonesia, dan penguatan nilai moderasi beragama meneguhan satu hal penting bahwa pendidikan Islam Indonesia terus bergerak dengan semangat peningkatan mutu, kemajuan, dan nilai asali pendidikan Islam Indonesia.

Hal demikian menjadi penting karena beberapa hal. Pertama, “merebut peluang” penting. Wajah pendidikan Islam secara internasional saat ini dicitrakan tetap berkelindan dengan pandangan intoleran dan radikal. Kehadiran dan promosi pendidikan Islam dan pendidikan yang bercirikan Islam Indonesia dengan nilai moderatismenya, dengan sendirinya memiliki peluang besar untuk merebut panggung dan arus utama pendidikan Islam dunia. Indikasi ini terihat dari gambaran dan asumsi publik internasional tentang madrasah belakangan.

Kemenangan rezim Taliban di Afghanistan menjadi komoditas kepentingan politik yang meletakkan pelabelan Taliban sebagai produk madrasah Deoband. Meski otoritas madrasah Deoband di India menolak jejaring ini, keberadaan madrasah Deoban di kamp-kamp pengungsi di Pakistan dan sepanjang perbatasan Afghanistan-India, sebagai basis transmisi pengetahuan dan pendidikan Taliban, tidak dapat dibantah begitu saja.

Reportase berjudul Where Afghanistan’s New Taliban Leaders Went to School di The New York Times (25/11/2021) dengan asosiatif menghubungkan Deoband India dan Pakistan sebagai basis radikalisme para pemimpin Taliban. Reportase ini menjadi pemantik laporan dan opini serupa di berbagai media Barat kemudian.

Di sudut lain, pertikaian dan  konflik politik dan sosial yang tidak berkesudahan di Timur Tengah dan belahan Afrika Utara (di mana basis pendidikan Islam berada) mencerminkan kegagalan transmisi nilai pendidikan Islam setempat dalam membangun  perdamaian. Akibatnya, dalam banyak hal wajah pendidikan Islam secara umum masih dekat dan asosiatif dengan pandangan konservatvisme hingga ektremisme.

Kedua, kampanye moderatisme (washatiyah) menjadi sarana efektif untuk memperkuat dan menjaga identitas asali pendidikan Islam Indonesia. Upaya ini menjadi penting karena pendidikan dalam semua jenisnya dalah entitas yang menghadapi demikian banyak disrupsi dan perkembangan yang ada. Contohnya, dengan perkembangan falsafah pendidikan yang terlalu mengedepankan kecanggihan teknologi sebagai dampak upaya bangkit dari distraksi sosial, pendidikan dapat kehilangan ruhnya untuk pertama sekali mementingkan persona (individu), bukan pada materia (barang atau sarana). Moderatisme menekankan pentingnya sikap berada di tengah dan penghargaan terhadap lokalitas.

Ketiga, pengarusutamaan (mainstreaming) kebangkitan pendidikan bercirikan  Islam Indonesia. Jika selama ini jejak pendidikan yang bercirikan Islam Indonesia tidak menjadi hitungan utama dalam literatur pendidikan Islam dunia, langkah internasionalisasi dan penguatan moderasi beragama secara internal tersebut akan menjadi jawaban tegasnya. Mona Abaza saat menerangkan lema “Madrasah” dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World terlihat ragu dan tidak eksplisit mengeksplorasi khazanah pendidikan Islam Indonesia, alih-alih menyebutnya sebagai bagian dari perkembangan madrasah di Malaysia (Kedah dan Kelantan) dan Thailand bagian Selatan (Pattani).

Pandangan Mona Abaza seperti cerminan betapa Pendidikan Islam Indonesia memang masih jauh dari idealitas pengakuan dengan kiprah yang diaminkan publik internasional. Momen Hari Kebangkitan Nasional sepatutnya menjadi energi positif bagi insan pendidikan Islam untuk menjadi daya dorong menuju kemajuan bersama. (*)

* Asesor SDM Aparatur Ditjen Pendidikan Islam Kemenag.