Sarang Laba-laba

Oleh: Jaya Suprana

KETIKA terpaksa bertapa di dalam rumah akibat pagebluk Corona, saya kerap mengenang masa lalu. Misalnya ketika saya masih belajar seni rupa dan seni musik di Jerman, satu di antara sekian banyak unsur pemikiran yang paling kerap diperdebatkan adalah apa yang disebut sebagai estetika. Dari berbagai debat tentang estetika, saya menarik kesimpulan bahwa Pada hakikatnya estetika merupakan suatu jenis persepsi subyektif yang hanya dimiliki oleh mahluk hidup jenis homo sapiens.

Seni
Sarang laba-laba memang indah. Namun laba-laba tidak membangun sarangnya sebagai sebuah karya seni namun sebagai peralatan teknis untuk menangkap mangsa mereka. Bulu ekor merak jantan luar biasa indah tata-warnanya juga bukan merupakan karya seni namun suatu daya visual demi memikat pasangan atau menakut-nakuti lawan. Jika ingin dipaksakan bahwa sayap kupu-kupu merupakan mahakarya seni rupa berarti mengakuinya bukan sebagai buatan manusia namun ciptaan Yang Maha Kuasa.

Pertanyaan utama adalah kenapa hanya manusia yang menciptakan mahakarya kesenian yang kemudian melahirkan istilah indah. Meski pada hakikatnya siulan burung kenari adalah indah namun kenapa tidak dikategorikan sebagai karya seni.

Masalah makin rumit apabila merambah ke contoh kenyataan, misalnya lukisan paling tersohor di marcapada ini meski tentu saja hanya terbatas pada masyarakat yang terdikte oleh imperalisme kebudayaan yang sampai saat ini masih didominir oleh peradaban Barat, yaitu La Gioconda yang jauh lebih popular dengan nama Monalisa. Tanpa pernah melakukan eskperimen dan riset secara ilmiah versi akademis Barat, saya berani menjamin bahwa apabila saya memamerkan lukisan bernama Monalisa kepada masyarakat adat di hutan belantara di pedalaman Brasil saya jamin tidak ada yang menilai Monalisa sebagai lukisan terindah akibat tata warna yang gelap serta wajah Monalisa yang tidak bisa dibilang cantik apalagi akibat tidak punya alis.

Terus terang andaikata saya berjumpa seorang perempuan berwajah persis Monalisa dengan rambut panjang mengurai yang sama di tengah malam di hutan pedalaman Kalimantan maka saya bukan terpesona namun jatuh pingsan akibat ketakutan berjumpa kuntilanak. Saya pribadi secara subyektif lebih mengagumi keindahan lukisan Leonardo da Vinci yang berjudul “Dama con l’ermellino” yang kini berada di museum Czartoryski, Krakau ketimbang “Monalisa” yang kini berada di museum Louvre, Paris.

Nisbi
Memang pada hakikatnya keindahan suatu karya seni secara subyektif maka nisbi tergantung pada persepsi insan manusia yang menginderakannya. Akibat nisbi karena subyektif maka sebagai warga Indonesia, saya lebih tergetar sukma ketika menyaksikan keindahan Borobudur ketimbang para piramida di padang pasir sekitar sungai Nil di Mesir sampai Sudan.

Sebagai warga Indonesia saya memang lebih terharu ketika mendengar keindahan sajak-sajak Taufik Ismail ketimbang puisi-puisi Walt Whittman. Sukma saya lebih tergetar ketika menyaksikan pergelaran Wayang Orang Bharata atau Ngesti Pandowo ketimbang pergelaran Kabuki. Lubuk sanubari pribadi saya lebih tersentuh ketika mendengar Waljinah syahdu nembang Yen Ing Tawang Ono Lintang ketimbang ketika mendengar Theresa Teng merdu mengalunkan Yen Liang Tai Piao Wo Te SinLidah saya lebih tergiur ketika melahap sate kambing Pak Toha di Jember ketimbang ketika mencicipi nouvelle cousine mahachef legendaris Alain Passard di L’Arpege Paris.

Letak
Namun ada teori estetika yang tidak sudi terperangkap pada dogma kenisbian persepsional subyektif yaitu teori estetika dogmatis tak terbantahkan bersikeras bahwa keindahan payudara perempuan terletak pada letaknya. Bagi yang masih berani meragukan silakan menggunakan imajinasi andaikatamologis demi membayangkan andaikata payudara perempuan terletak pada tempat yang bukan tempat kelazimannya. Seperti misalnya di perut, atau di punggung, atau di dahi, atau di ubun-ubun atau di dengkul, atau di telapak kaki apalagi di ketiak. Apakah payudara perempuan yang tidak terletak pada letaknya yang lazim masih layak dinilai sebagai indah?

Menghadapi kontemplasi estetika yang mengutamakan peletakan apapun pada letaknya seperti halnya falsafah Jawa empan-papan itu, saya tak berdaya apa pun kecuali membisu setriliun bahasa sebagai pertanda menyerah kalah tanpa kibaran bendera putih. Ternyata keindahan bagian tubuh yang terletak di dada manusia baik yang lelaki mau pun perempuan namun konon yang lebih indah adalah yang dimiliki perempuan asal letaknya jangan dipindah ke tempat lain memang apabolehbuat sukataksuka terletak pada letaknya. (*)

* Penulis adalah pembelajar apa yang disebut sebagai estetika.