Independensi Media

Oleh: , Penggagas Masyarakat Peduli Media (MPM)

Hampir semua media televisi yang beroperasi di Indonesia adalah lembaga penyiaran yang menggunakan frekuensi milik dan ranah publik yang free to air dan teresterial yang regulasi penggunaan frekuensi tersebut mestinya sangat ketat. Karena spectrum gelombang radio dalam bentuk frekuensi oleh media penyiaran tersebut adalah milik publik, yang seharusnya dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Apalagi frekuensi tersebut bersifat terbatas.

Situasi di Indonesia, dimana para pemodal dan pemilik stasiun televisi yang juga berkelindan dengan dunia politik telah menggunakan ranah publik melalui stasiun televisnya untuk kepentingan politik, pribadi, dan golongannya. Ini tak bisa dibenarkan jika merujuk pada Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun 2002.

UU No 32 tersebut relatif cukup baik. Namun sayangnya, regulator (Pemerintah) dan Komisi Penyiaran Indonesia kurang tegas dalam menegakkan regulasi tersebut. Semangat dari UU Penyiaran itu adalah demokratisasi penyiaran di Indonesia yang mengedepankan keragaman isi siaran (diversity of content) dan keragaman kepemilikan (diversity of ownership).

Setelah lebih dari satu dasawarsa UU Penyiaran diberlakukan, industri penyiaran (khususnya televisi) di Indonesia semakin menunjukkan watak komersialnya serta penggunaan media itu untuk kepentingan politik para pemilik modal dan kekuasaan. Industri penyiaran telah berubah dari yang sebelumnya mendukung demokrasi, sekarang jadi kekuatan yang mengancam demokrasi itu sendiri. Liihat saja di layar kaca kita, bagaimana media-media televisi melakukan framing sedemikian rupa terhadap calon-calon presiden/wakil presiden berikut partai-partai pendukungnya. Hak-hak publik dikorbankan, media televisi dikuasi elit politik dan ekonomi negeri ini.

Riset yang telah dilakukan oleh Perkumpulan Masyarakat Peduli Media-Yogyakarta tentang Media dan Pemilu pada tahun 2014 lalu, menunjukkan bahwa pada saat pesta demokrasi melalui pemilihan umum itu digelar, publik berharap mendapatkan informasi yang akurat, proporsional, lagi tidak menyesatkan agar bisa menjadi referensi bagi pemilih untuk menjadi pemilih yang cerdas. Sayangnya, harapan itu tak banyak dijumpai dalam media arus utama di Indonesia. Baik media yang menggunakan frekuensi sebagai ranah publik maupun media cetak yang tidak menggunakan domain publik sama-sama terjerembab dalam ketidaknetralan.

Penelitian yang pernah dilakukan oleh MPM menunjukan media-media yang dimiliki oleh pemodal yang juga sebagai politisi atau berkoalisi dengan kelompok politik di Indonesia cenderung tidak netral dan memihak. Independensi media di Indonesia sedang terancam oleh hegemoni pemilik media yang berkelindan dengan kekuatan politik. (watyutink/*)